KEJUJURAN MELODINYA

160 1 0
                                    

Latihan dimulai pagi-pagi sekali. Aku baru saja selesai melahap roti sebagai sarapan ketika Illinaya sudah menyeretku ke ruang musik, berseru dengan semangat yang hampir terasa menakutkan, "Latihan ini tidak akan mudah! Aku tidak akan main-main, bersiaplah!"

Dia menyerahkan biola cadangan Nona May yang biasanya kupakai. Aku buru-buru menelan sisa rotiku, meneguk air dengan cepat, lalu mengambil biola itu dari tangannya.

"Hari ini, kau akan mempelajari dasar-dasar biola dengan cara yang benar."

Aku tahu aku harus serius. Tidak ada gunanya mundur sekarang, apalagi aku sendiri yang meminta ini. Selain itu, Illinaya jelas bukan orang yang menerima penolakan. "Baiklah," jawabku akhirnya.

Ruang musik pagi itu terasa berbeda. Sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela besar, menyinari ruangan dengan lembut. Aroma kayu tua bercampur gesekan senar biola memenuhi udara, menciptakan suasana yang aneh tapi menenangkan. Nona May, yang biasanya menyaksikan dari jauh, hanya lewat di depan pintu tanpa sepatah kata. Sepertinya dia sengaja memberikan ruang untuk latihan ini, tetapi tetap saja, aku tidak bisa mengabaikan kekhawatiranku tentang kondisinya belakangan ini.

"Baik, Lucas, mari kita mulai dari dasar," kata Illinaya sambil mengambil biola miliknya sendiri. Aku tidak tahu dari mana dia mendapatkan alat musik itu—dia datang hanya membawa koper kemarin. Mungkin, dia sudah lama menyimpannya di mansion ini.

"Sebelum kau bisa memainkan melodi yang indah, kau harus memahami alat musik ini terlebih dahulu. Setiap senar punya karakternya sendiri, dan setiap nada harus punya jiwa."

Dia memainkan beberapa nada sederhana. Nada-nada itu terdengar seperti berbicara—ringan, penuh makna. Aku mencoba menirunya, tetapi hasilnya jauh dari apa yang ia mainkan—lebih mirip suara gesekan pintu tua daripada melodi.

"Tunggu dulu," katanya sambil membetulkan posisiku memegang busur. "Pegang seperti ini. Jangan tegang. Musik harus mengalir, bukan dipaksakan."

Aku mencoba lagi, kali ini sedikit lebih baik, meskipun masih jauh dari sempurna. Illinaya mengangguk kecil, tersenyum tipis. "Lumayan untuk pemula. May mengajarimu sebelumnya, kan? Tapi itu tidak cukup. Kalau kau ingin berkembang, kau harus berlatih setiap hari."

Setelah dua jam latihan, aku merasa lenganku hampir lepas. Tetapi melihat semangat Illinaya, aku juga tidak ingin mengecewakannya walaupun masih hari pertama. Dia juga begitu sabar, bahkan ketika aku melakukan kesalahan yang sama berulang kali.

Di sela-sela latihan, aku mencuri pandang ke arah jendela. Nona May duduk di bangku taman, memandangi bunga-bunga yang bermekaran. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada sesuatu yang aneh—seolah dia sedang berbicara pelan pada dirinya sendiri. Apa yang sedang dia pikirkan?

"Apa yang kau pikirkan?" suara Illinaya membuyarkan lamunanku.

"Ah, tidak apa-apa. Saya hanya penasaran, apa yang membuat Nona May berhenti bermain biola secara profesional? Dan mengapa Anda bersikeras ingin membawanya kembali?"

Illinaya terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "May adalah salah satu pemain biola terbaik yang pernah aku kenal. Ketika dia bermain, dia bisa membuat orang menangis, tersenyum, atau bahkan merasa hidup kembali. Tapi dia memutuskan meninggalkan itu semua—untuk alasan yang hanya dia ketahui. Aku hanya ingin mengingatkan dia tentang apa yang dulu dia sukai, apa yang dulu kita berdua perjuangkan mati-matian. Walaupun, aku tahu biola juga membawa kenangan yang menyakitkan untuknya."

"Kenangan yang menyakitkan?" tanyaku penasaran.

"Ayahnya," jawabnya singkat. "Dia adalah guru kami berdua. Dia orang yang keras, terkadang terlalu keras. Tapi setelah ibu May meninggal, hubungan mereka menjadi jauh lebih buruk. Ayahnya berubah menjadi sosok yang hampir tidak bisa dikenali. May membencinya, tapi pada saat yang sama, dia juga tidak bisa benar-benar melepaskan kenangan itu. Sekarang, setelah ayahnya meninggal, dia sudah tidak bisa melakukan apa-apa."

Illinaya tersenyum kecil, tetapi senyum itu terasa pahit. "Aku tidak seharusnya memberitahumu semua ini. May mungkin akan marah kalau dia tahu. Tapi aku yakin dia tidak akan benar-benar membenciku."

Aku hanya bisa terdiam. Cerita itu membuatku semakin memahami apa yang disimpan Nona May, tetapi juga menambah banyak pertanyaan di benakku. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalunya? Dan apakah aku ada hal yang bisa kulakukan untuknya?

Latihan berlanjut hingga siang hari. Pelajaran dasar-dasar biola yang diajarkan Illinaya membuatku menyadari betapa sulitnya alat musik ini. Setiap gesekan busur membutuhkan ketelitian, dan setiap nada membutuhkan perasaan.

Setelah menyelesaikan bagian pertama latihan, Illinaya menyuruhku untuk istirahat sejenak. Aku duduk di salah satu kursi di ruang musik, mencoba meredakan rasa sakit di lenganku. Namun, pikiran tentang apa yang baru saja dia katakan tentang masa lalu Nona May masih mengusik pikiranku.

Saat itu, Nona May masuk ke ruang musik. Dia membawa segelas teh untuk Illinaya dan sebotol air untukku. Aku berdiri, hendak menerima botol itu, tetapi dia langsung mengalihkan pandangannya.

"Kalian terlihat sibuk," katanya, suaranya datar tetapi lembut. "Lucas, bagaimana latihannya?"

"Baik, Nona," jawabku dengan sedikit ragu. Aku ingin mengatakan bahwa latihan ini jauh lebih sulit daripada yang aku bayangkan, tetapi aku memilih untuk menahan keluhan. Dia sudah cukup khawatir dengan kesehatannya sendiri; aku tidak ingin menambah bebannya.

"Bagus, aku senang kau berusaha dengan baik. Kalau begitu, aku tidak akan mengganggu."

Namun, sebelum dia pergi, Illinaya memanggilnya. "May, kau tahu, Lucas ini cukup cepat belajar. Aku rasa dia bisa lebih termotivasi kalau melihatmu bermain di depannya lagi. Kau masih sering memainkannya, kan?"

Nona May berhenti sejenak, lalu menatapku dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ada kehangatan, tetapi juga sedikit keraguan.

"Aku lebih sering bermain untuk diri sendiri, atau kalau aku butuh melupakan sesuatu. Tapi kalau ini bisa membantu Lucas..." Dia mendekat ke biola yang tergeletak di meja, mulai mengambilnya, dan memainkannya.

Ketika dia menggesekkan busurnya, ruangan dipenuhi dengan melodi yang begitu indah. Aku tertegun untuk beberapa saat, ada sesuatu dalam caranya bermain yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Mungkin ini hanya pemikiranku belaka, tapi dia seperti berusaha menceritakan sesuatu ketika dia memainkannya, sesuatu yang sedih dan penuh emosi.

Ketika dia selesai bermain, Nona May tersenyum kecil, meskipun ada sedikit kesedihan di matanya. "Lucas, musik adalah cara lain untuk berbicara. Kalau kau ingin belajar, belajarlah untuk berbicara dengan jujur melalui setiap nada."

"May, kau masih sehebat dulu," kata Illinaya, nadanya penuh kekaguman. "Tolong pertimbangkanlah bermain untuk orang-orang lagi."

Nona May meletakkan biolanya dengan hati-hati. "Kau tahu, aku tidak akan pernah berhenti bermain, Illinaya. Tapi sekarang aku hanya merasa, biola adalah sesuatu yang personal. Aku bermain untuk diriku sendiri sekarang, bukan untuk dunia."


Aku melihatnya pergi dari ruangan, meninggalkan aku dan Illinaya dalam keheningan yang penuh arti.

"Dia masih mencintai biola," gumamku akhirnya. "Hanya saja, dia memilih untuk mencintainya dengan caranya sendiri."

Illinaya mengangguk, tersenyum tipis. "Kau mengerti dengan cepat, Lucas. Kalau begitu, pastikan kau juga menemukan alasanmu untuk mencintai musik. Jangan hanya karena ingin mengesankan seseorang. Musik adalah cerminan siapa dirimu."

Latihan berlanjut hingga sore, namun melodi yang dimainkan Nona May terus terngiang di benakku. Itu bukan hanya soal keindahan permainan, melainkan kejujuran yang terasa di setiap nadanya—sebuah standar yang ingin kucapai suatu hari nanti. Nona May, dengan caranya yang tenang namun penuh emosi, adalah sosok yang benar-benar memesona. Aku hanya bisa berharap dia akan terus menyaksikan perjalananku, melihatku tumbuh, dan mendukungku hingga aku mampu memainkan musik yang bisa menyentuhnya kembali; Tolong biarkan ini terjadi suatu hari nanti.

———

Author's Note:
Lucas memiliki sisi yang naif ya?
Saya harap dia tetap disukai oleh pembaca.
Nantikan chapter berikutnya ya!
Saya akan berusaha menulis dengan baik lagi.

In the Footsteps of Time: May the Flower BloomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang