Pertengahan 1991, Uni Soviet sudah mulai kacau. Namun sekalipun demikian, pengamanan justru makin diperketat. Syukurlah fokus mereka hanya lah mencegah rakyatnya yang ingin kabur ke luar negeri dan mengantisipasi agen intelijen lawan yang hendak menciptakan kekacauan.
Tirta dengan mudah lolos karena tidak perlu menggunakan dokumen palsu. Dia hanya perlu berpura-pura menjadi mahasiswa yang hendak belajar di luar negeri, suatu hal yang memang sering terjadi pada era Sukarno, namun menurun drastis jumlahnya sejak Orde Baru. Para alumni dari universitas di Uni Soviet ini yang kemudian malah kesulitan untuk pulang, karena sering dihambat birokrasi, akibat dianggap menjadi kaki tangan yang dibiayai PKI dan akan jadi agen penyebar paham komunisme saat pulang, sehingga akhirnya menjadi diaspora abadi keturunan Indonesia di Eropa Timur.
Sebagian kehilangan kewarganegaraannya karena dipersulit untuk memperpanjang paspor dan izin tinggal. Hanya menunggu nasib saat mereka harus sakit-sakitan atau terbelit berbagai kesulitan, lalu kemudian tidak ada satu pun di antara kedua negara, Indonesia, atau salah satu dari negara Eropa Timur yang mereka tinggali, bersedia memberi pelayanan yang layak. Mereka stateless.
Sebagian yang lain, entah karena koneksi atau cukup pintar mencari layanan pembuatan membuat dokumen palsu, bisa sesekali pulang, dengan status sudah berubah, mendapat nama baru dan malah menjadi turis di tanah kelahirannya sendiri. Miris, bukan?
Dan inilah Tirta. Setelah mendapat pengesahan dari keimigrasian, seharian berkeliling Moskow, mengambil foto beberapa gedung, dan meginap dua malam di hostel mahasiswa, besoknya dia langsung diantarkan oleh salah satu mahasiswa Indonesia yang ada di Moskow untuk menaiki kereta Trans Siberia menuju Tynda, dengan udara yang makin lama makin dingin menusuk. Ia belum terbiasa menggunakan Pukhovik, mantel yang biasa digunakan rakyat sana untuk bertahan dari serangan angin dingin. Baunya tidak enak, karena terbuat dari bahan sintetis yang semakin tidak sedap saat bercampur dengan keringat.
"Ini belum seberapa. Agustus sebenarnya masih musim panas, tapi suhu sudah mulai turun saat malam hari. Jadi pakai saja dulu," saran Dimas, mahasiswa tersebut sambil memasangkan topi rajut murahan yang ia beli di toko pakaian bekas kecil di sekitar Stasiun Belorussky, sebelum mereka turun dan melanjutkan naik kereta Trans Siberia di Stasiun Yaroslavsky. Ia memberikan bungkusan berisi mantel bulu, shuba, dan topi dari bulu, ushanka untuk dipakai di Yakutsk yang jauh lebih dingin nanti.
"Saat ini ekonomi sedang kacau balau. Lebih baik membiasakan diri memakai pakaian bekas yang harganya terjangkau, ketimbang diberikan harga seenaknya oleh pedagang," terang Dimas. Tirta menerima bungkusan itu dengan ucapan terima kasih.
"Lebih baik juga bila pakaian kita terlihat agak kotor dan usang, supaya tidak menarik perhatian perampok. Di Yakutsk sana, tingkat kriminalitas tinggi," tambahnya lagi.
Masih 7 hari menuju Tynda, dan sesekali kereta berhenti. Tirta dan Dimas memanfaatkan kesempatan terbatas itu untuk mandi dengan air yang sudah sedingin es. Sekalipun Orang Eropa malas mandi saat musim dingin, mereka masih mempertahankan kebiasaan Orang Indonesia.
"Ya, lebih baik memang membiasakan lidah dengan makanan setempat," Puji Dimas, saat Tirta memilih memesan kasha, bubur gandum di gerbong resto. Sungguh pun sudah diberi mentega, garam, dan rempah, dan ditemani sup kubis dengan sedikit potongan lemak sapi, rasanya sangat hambar, dan membuat lambung Tirta bergejolak. Setelah melewati beberapa makan malam, barulah perut dan lidahnya mulai bisa menerima.
Hampir Subuh mereka baru sampai di Tynda, sebelum melanjutkan lagi perjalanan dengan kapal kecil ke Yakutsk, menyusuri Sungai Lena.
"Setidaknya udaranya lebih baik," pikir Tirta. Terkurung nyaris non stop selama seminggu di gerbong kereta yang semerbak dengan bau badan manusia dan penuh kepengapan membuatnya tertekan. Kini semua sudah berganti dengan semilir angin sungai yang dingin.
Keadaan Uni Soviet pada masa itu memang kacau balau. Sesampai di Yakutsk, mereka langsung disambut dengan kehebohan, seseorang tidak dikenal terlihat sudah bersimbah darah di sudut sebuah pasar. Tidak ada yang berani menyentuh mayat berbaju kotak-kotak warna biru dan abu-abu serta celana flanel cokelat itu sampai akhirnya polisi datang. Bagi Tirta, ini sebuah berkah tersendiri, karena berarti dia sudah bisa mengirimkan berita sejak hari pertama.
Syukurnya Dimas tidak merasa keberatan menunggunya sebentar, bahkan membantunya bicara dengan penduduk lokal dan polisi. Terus terang walaupun sudah dilatih untuk berbahasa Russia sewaktu persiapan di Indonesia, lidah Tirta masih kelu. Dimas juga membantu menjelaskan ke polisi bahwa Tirta adalah mereka adalah mahasiswa yang ditugaskan membuat berita dari kejadian setempat, sehingga muka curiganya langsung sirna saat mereka bertanya-tanya.
Setelah mencarikan flat kecil, khrushchevka, dan membantu pendaftaran di Yakutskiy Gosudarstvennyy Pedagogicheskiy Institut, Dimas berpamitan. Dia harus kembali ke Moskow karena jadwal ujian sudah menunggu di sana. Tirta memberikan amplop yang dipesankan oleh rekan kantornya, yang sudah mencarikan bantuan agar semua urusan Tirta dipermudah.
"Tugas saya sampai di sini saja. Semoga sukses memberitakan Yakutsk kepada dunia," pesan Dimas sambil menyalami Tirta.
Di flat kumuh, namun masih punya pemanas untuk bertahan di tengah musim dingin, itulah pertama kali dia mendapat senyuman dari warga setempat. Perempuan tua itu dia panggil Babushka. Sepanjang perjalanan, tidak pernah dilihatnya muka-muka ramah di sana, tidak seperti saat masih di Indonesia.
Sesekali Babushka membantu Tirta mengeposkan surat untuk ibunya, sambil diselipi beberapa laporan yang dia titipkan untuk dikirim ulang ke kantornya. Tirta tidak ingin mengambil resiko, berita yang muncul nanti bisa saja dianggap berbahaya, dan akan dengan mudah dibaca dan disensor aparat keamanan setempat jika dianggap berbahaya, atau lebih buruk lagi jika kemudian dia dianggap mata-mata. Karena itu lebih baik jika alamat kirimnya ia tulis ke rumah saja, seolah surat pribadi. Jika isinya cukup sensitif, Tirta bisa menitipkan kepada beberapa Orang Indonesia yang akan pulang ke negerinya.
Uni Soviet memang jadi lebih terbuka sejak Michael Gorbachev naik tahta. Namun itu semua hanya citra di dunia internasional. Setidaknya kebebasan baru bisa dirasakan mereka yang cukup lumayan kehidupannya di kota besar seperti Moskow atau Saint Petersburg. Di pelosok seperti Yakutsk ini, setiap aspek kehidupan rakyatnya masih penuh ketakutan dan penderitaan.
Setelah membereskan kamarnya yang kotor berdebu, Tirta membuka tas yang berisi mesin tik, meletakkannya di atas meja kayu yang sudah reyot, dan mulai menulis surat untuk ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat-Surat dari Yakutsk
Historical FictionUntuk bisa memahami mengapa sosok Tirta adalah yang paling berhasil mengatasi luka dan trauma di dalam dirinya di dalam novel Jurang Salak Satu, kita perlu memahami latar belakang hidup Tirta yang dipenuhi pengkhianatan, direndahkan, bahkan diasingk...