Yakutsk, 17 Agustus 1991 – Di sepanjang perjalanan lewat jalur Sungai Lena, sejak subuh hingga tengah malam, kita bisa menemukan ketangguhan nelayan Uni Soviet. Mereka bekerja nyaris tidak kenal waktu, agar pondok-pondok penyimpanan dan pengolahan ikan bisa terus bekerja memenuhi kebutuhan warga setempat.
"Permintaan ikan dari Pasar Krestyanskiy tidak ada habisnya. Kalau kami berhenti bekerja sehari saja, harga ikan akan langsung membumbung tinggi," ungkap Alexei Vecherny, seorang nelayan. Semua dilakukan dengan peralatan seadanya.
Yakutsk sendiri berbeda dengan daerah lain yang kaya hasil pangan. Sejak cadangan minyak dan gas ditemukan pada 1989, melengkapi tambang berlian yang lebih dahulu ada, banyak yang beralih menjadi tenaga penambang.
"Bagi sebagian besar warga, bekerja di tambang jauh lebih menghasilkan. Tapi saya lebih memilih meneruskan tradisi keluarga," Alexei mengungkap alasannya tetap jadi nelayan. Dia juga terbentur syarat ijazah untuk bisa melamar.
Walau terbatas, sebagian ikan berkualitas tinggi diolah oleh industri rumahan dan pabrik kecil menjadi ikan kalengan. Biasanya hasil produksi ini digunakan untuk keperluan pengamanan logistik negara dan militer. Sisanya, kita bisa membeli untuk dimakan dalam keadaan segar, baik di pasar atau langsung dari nelayan.
Dengan kondisi alamnya yang dingin ekstrim, ikan di sini bisa bertahan sangat lama, sekalipun akses listrik untuk lemari pendingin terbatas. Itulah mengapa warga setempat mengembangkan menu khusus, seperti stroganina, irisan daging ikan mentah seperti sashimi, atau indigirka, salad sayur dengan potongan ikan yang juga mentah.
"Ini cara kami bertahan di tengah dinginnya udara di Yakutsk, memakan ikan mentah, yang diberi bumbu dan rempah, membuat tubuh jadi lebih hangat," ungkap Babushka, demikian nama panggilannya, salah seorang penjaga flat di Yakutsk. Selain kondisi cuaca yang memang mendukung untuk menyimpan dan menyajikan ikan mentah, mereka juga harus mengakali sulitnya mendapat gas, bumbu, dan bahan lainnya untuk memasak.
(Tirta)
Saat mengeluarkan kertas hasil ketikan itu dari gulungan mesin tik, Tirta baru menyadari bahwa kertasnya terpasang miring. Namun dia terlalu lelah untuk mengulangi lagi ketikannya dari awal.
"Ya sudah lah, toh mereka tidak akan pernah memuat tulisanku ini. Yang penting kewajibanku mengirim berita setiap hari sudah selesai," pikirnya. Entah mengapa perasaan kesal kembali menyelimuti Tirta. Dia teringat kembali berbagai berita yang sudah dia susun sebaik mungkin kemudian dibatalkan naik cetak hanya karena campur tangan pemimpin redaksi, yang mendapat teguran dari pejabat yang baru saja diwawancarai oleh Tirta. Sejak saat itu, jarang sekali tulisannya yang dimuat, sehingga penilaian kerjanya pun menjadi buruk.
Tapi di sini, tidak akan ada yang menegurnya langsung. Paling-paling hanya berupa surat. Dia tinggal menjelaskan saja, memang seperti itulah kondisi tempat dia ditempatkan. Jika ingin berita bombastis, seharusnya dia ditempatkan di kota-kota besar, yang lebih banyak narasumber orang penting berkeliaran.
"Salah sendiri, kan?" Cibir Tirta. Dia kemudian memasukkan kertas itu ke dalam amplop.
"Tidak apa-apalah bau ikan sedikit. Supaya mereka juga pusing waktu membukanya," gumam Tirta sambil tertawa-tawa setelah mencium bau kertas itu. Jiwa berandal, sisa-sisa masa sekolahnya muncul.
***
Menjelang tidur, Tirta tiba-tiba dikagetkan oleh suasana berisik di luar khrushchyovka. Ia mengintip dari jendela. Sesosok anak tanggung, sekitar 17an tahun sedang melemparkan botol kaca. Sesaat dia melihat ada kobaran kecil api.
"Ah, molotov!" Seru Tirta dalam hati. Ia sering melihat senjata sederhana saat beberapa kali melihat keributan mahasiswa. Di Indonesia, siapapun yang terlihat membawanya akan langsung menjadi incaran aparat keamanan, namun tampaknya di sini siapa saja merasa bebas untuk membuat dan mengunakannya.
"Untung saja dia tidak melempar ke arah bangunan ini," pikir Tirta. Dalam sekejap ia mendengar suara pecahan kaca, diikuti kobaran api dari seberang jalan. Beberapa orang berteriak teriak. Namun Tirta terlalu cepat merasa senang, dari arah sebaliknya, botol lain mengarah ke bangunan yang dia tempat.
Setengah panik, dia segera berlari ke arah dapur dan mengambil kain pel tebal. Dibasahinya dengan air keran. Lalu Tirta keluar, berusaha memadamkan api itu dengan menepuk-nepuknya, lalu ditutupnya dengan kain basah tadi.
Beberapa batu kerikil menghantam badan dan kepalanya, tapi ukurannya terlalu kecil untuk bisa melukai Tirta dengan serius. Ia segera berlari ke dalam dan menutup pintu. Tak lama, terdengar suara kaca pecah. Babushka terdengar menjerit marah.
"Berandalan-berandalan itu!" serunya.
Babushka melihat ke arah muka Tirta yang mulai timbul memar-memar kecil membiru. "Anda tidak apa-apa? Ty v poryadke?" Sambil menusap kepala Tirta. Dia lalu membuka kotak obat dan membawa salep dengan tulisan yang sudah sulit terbaca.
"Coba dulu, memang tampaknya sudah kedaluarsa, tapi daripada tidak ada sama sekali. Toh tidak untuk dimakan. Sekalian kompres saja dengan air dingin," sarannya.
Tirta mematuhi anjuran Babushka, yang memberinya handuk kecil dan merendamnya dengan air keran. Pada dasarnya air di sana memang sudah sedingin salju. Jadi mereka tidak memerlukan kulkas hanya untuk mendapat air dingin. Ditempelkannya di kepala belakang, yang bengkaknya paling besar. Baru lah kemudian dia sadar salah satu batu yang mendarat di sana sebenarnya cukup besar, namun di kegelapan malam sulit membedakan ukuran batu yang menimpa kepala kita.
"Keributan seperti itu sering terjadi di Distrik Oktyabrsky ini, apalagi sejak Suku Yakut mulai banyak yang berintegrasi dengan pemukiman warga sekitar," cerita Babushka.
"Yakut?" Tanya Tirta, merasa tak yakin dengan apa yang didengarnya.
"Ya, harusnya mereka tetap saja di gubuknya. Tapi sejak tambang gas baru marak dibuka dan perusahaan membuat kebijakan mendahulukan penduduk asli, jadi banyak yang mulai berpindah ke pusat kota," jawab Babushka.
"Tentu saja kami tidak ingin diskriminatif seperti para Yanki membunuhi negro. Hanya saja mereka terlalu sering menimbulkan masalah di daerah ini. Polisi saja sudah kewalahan menghadapi berandalan Siberia ini," lanjutnya lagi.
Tirta mengangguk-angguk. Naluri wartawannya mengatakan bahwa tidak pernah ada orang berbuat kejahatan tanpa sebab. Bahwa banyak yang jadi korban, adalah akibat. Tapi di balik itu semua pasti ada pola menarik untuk diamati dan diberitakan.
"Tidurlah lagi, di luar sudah tenang. Syukurlah tadi kamu cepat memadamkan apinya, sehingga yang lain tidak ikut terbangun."
Tirta mengangguk, berjalan ke arah dapur utama, dan mematikan kompor yang digunakan untuk merebus air tadi. Ia menyeduh teh dan membawanya ke atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat-Surat dari Yakutsk
Ficción históricaUntuk bisa memahami mengapa sosok Tirta adalah yang paling berhasil mengatasi luka dan trauma di dalam dirinya di dalam novel Jurang Salak Satu, kita perlu memahami latar belakang hidup Tirta yang dipenuhi pengkhianatan, direndahkan, bahkan diasingk...