"Tidak mudah untuk bisa diterima oleh suku asli,"demikian pelajaran yang diapat Tirta saat pembekalan jurnalistik dulu.
"Apalagi yang kita hadapi sama sekali berbeda, baik dari segi bahasa, adat istiadat, budaya, sampai ke baju sekalipun. Kalau pendekatannya keliru, perbedaan kecil bisa jadi masalah," tambah instruktur tadi. Mereka diberi tugas untuk masuk ke pedalaman Banten. Sekalipun masih di lingkup wilayah barat Jawa, dan kurang lebih bahasanya sama dengan bahasa ibu Tirta, Sunda, namun dari segi kebiasaan dan sopan santun, mereka jauh lebih ketat.
Sesekali dia mendengar gurauan untuk berhati-hati, bahkan sekadar untuk meludah atau buang air di wilayah Suku Baduy. Jika tidak jangan harap bisa pulang dengan selamat. Salah satu temannya bercerita bahwa pernah ada yang tidak bisa buang air besar berminggu-minggu setelah sembarangan buang air di tempat yang seharusnya menjadi sumber air minum.
Namun bagi Tirta, cerita hanyalah cerita. Itu semua hanya mitos. Memahami suku asli bukanlah urusan mistisnya, namun kelihaian kita untuk bisa muncul sebagai sosok yang menyenangkan dan menarik untuk diajak bicara.
Karena itu Tirta membawa hadiah berupa oleh-oleh kalung manik-manik dari Indonesia. Di kepalanya, harusnya dia bisa mengambil hati anak-anak Suku Yakut di Distrik Tabaga sana.
Perjalanan dari pusat kota Yakutsk ke Tabaga sebenarnya tidak lama, andai transportasi darat cukup lancar. Namun saat itu yang umum digunakan adalah kapal penumpang kecil, rechnoy teplokhod. Kapal itu memiliki dua lantai untuk penumpang, dan di bawahnya khusus untuk barang. Setelah menunggu sekitar dua jam akibat kerusakan mesin, mereka beranjak dengan suara mesin diesel yang berisik dan asap hitam yang membumbung tinggi di angkasa.
Di kanan kiri sungai, dia melihat beberapa nelayan kecil sedang duduk di atas perahu mereka, memperbaiki peralatan tangkap dan pancingnya. Sesekali terlihat gubuk berselang-seling. Dia langsung mengerti bahaa gubuk itu sebenarnya bukan untuk ditempati, tapi lebih sebagai gudang untuk menaruh peralatan dan mengolah hasil tangkapan.
Sesampai di Tabaga, Tirta dengan mantap berjalan menuju gubuk-gubuk Khas Suku Yakut, urasa. Rasa heran langsung menggelayuti benaknya. Di khrushchevka tempat dia tinggal kini yang menyediakan pemanas dan air panas saja, sudah terasa begitu dingin.
"Bagaimana mungkin mereka bisa bertahan di bangunan kayu berbentuk kerucut ini?" Pikir Tirta sambil memegang-megang salah satu sisinya. Beberapa titik di atapnya ditutupi hanya dengan rerumputan kering dan jerami. Dengan suhu yang bisa mencapai 50 derajat celcius di bawah titik beku air, entah perlindungan macam apa yang diberikan oleh tempat tinggal seperti ini.
Sekalipun memiliki keramahan khas Asia, namun secara budaya dan kebiasaan, Suku Yakut masih lebih dekat terikat ke Orang Russia, yang mudah curiga dan sulit akrab dengan orang baru. Setiap kali dia berusaha tersenyum kepada orang-orang di perkampungan kecil itu, mereka membalas dengan senyuman sama, namun langsung pergi menghindar.
Barangkali hanya anak-anak yang masih menganggapnya menaril, karena sebagai orang yang tampak asing, dia juga tidak berambut pirang atau memiliki bola mata biru seperti umumnya Orang Russia dari kota. Sosoknya hampir mirip dengan orangtua mereka, kecuali Tirta sedikit lebih tinggi.
Tirta kemudian merogoh sakunya, dan mengambil kalung manik-manik yang telah dia siapkan untuk anak-anak itu. Secara naluri, melihat hal yang berwarna-warni dan berkilauan, tentu akan menarik perhatian mereka. Tapi yang kemudian terjadi mengagetkan Tirta.
Sesosok perempuan, agak tua, berteriak. Entah apa yang dia ucapkan, namun tampaknya menegur anak itu. Dengan bahasa isyarat, dia berusaha menjelaskan bahwa itu hanya hadiah yang diberikan dengan tulus sebagai perkenalan. Dengan cepat, perempuan itu tersenyum dan mengambilnya.
Awalnya Tirta merasa lega. Dia berpikir mungkin perempuan itu marah karena disangka akan menculik anaknya. Tapi sekali lagi, reaksi mereka membuatnya menggeleng-gelengkan kepala. Perempuan itu melempar begitu saja kalung tersebut di depan gubuknya. Anak tadi berlari-lari mengejar perempuan itu, tampaknya menahan tangis setelah dimarahi. Sebelum mencapai pintu, ia sempat berbalik dan melayangkan senyum kepada Tirta, lalu sama saja, dengan muka datar ikut masuk ke dalam.
Dengan menghela napas, Tirta pergi. Terasa begitu sia-sia berjam-jam yang telah dia habiskan untuk datang ke sini.
Dia kemudian memilih singgah sebentar di perkampungan nelayan dan mulai belajar cara menangkap dan mengkonsumsi ikan. Lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang yang berbahasa Russia. Suku asli lebih banyak menggunakan bahasa mereka sendiri yang merupakan turunan dari Bahasa Turki.
Nama pemuda itu Alexei Vecherny. Ia memperkenalkan banyak hal dalam budaya para nelayan di Russia, termasuk teknik memancing yang diperlukan, cara mereka menyimpan dan mengolah ikan hasil tangkapan, hingga cara menghidangkannya di meja makan.
Sekalipun lebih banyak diharapkan berkontribusi di desk politik, terutama soal Uni Soviet, Tirta tidak dihalangi untuk menulis dengan tema sosial budaya. Hal ini juga dilakukannya sebagai pengusir rasa bosan saat mengerjakan berita yang itu ke itu saja di Indonesia sana.
Hampir malam saat ia kembali ke khrushchyovka. Dilihatnya Babushka sedang berbenah di bagian depan gedung, sebelum nantinya kembali ke unitnya sendiri. Ia melihat Tirta dengan takjub, "Vau, Tirta! Vau!"
"Besar sekali ikannya!" matanya berbinar-binar. Tirta menawarkan Babushka untuk mencoba, yang langsung ditanggapi dengan membawa semua ikan itu ke dapur bersama, membersihkan, mendiamkannya dalam lemari es selama 1,5 jam, lalu mengirisnya tipis-tipis.
Awalnya dia mengira Babushka akan memasak lagi potongan-potongan itu. Ternyata dihidangkan begitu saja. Mirip sashimi dalam kuliner Jepang.
"Stroganina, nelayan tadi tidak menjelaskannya?" Jawab Babuskha menyaksikan tatapan heran Tirta. Dia menjelaskan bahwa orang-orang Russia, termasuk suku asli Yakut, menggemari ikan mentah ini. Tirta juga tidak perlu takut sakit perut, karena sebenarnya parasit dan kuman di tubuh ikan mati dengans sendirinya saat membeku.
Babushka kemudian menaburi stroganina tersebut dengan sedikit garam dan sisa lada di lemari dapur.
"Akan lebih enak lagi kalau ada saus cuka," tambah Babushka. "Tapi pada saat-saat seperti ini, kita harus berhemat dengan apapun yang dimiliki. Bahan seperti ini sudah semakin jarang dibagikan pemerintah," terang Babushka sebelum mengambil sikap berdoa.
Seperti juga saat mencoba sashimi, perut Tirta terasa berputar-putar saat mencoba menelan daging ikan tersebut. Ia merasa begitu rindunya dengan ikan goreng buatan ibunya yang diberi banyak cabe rawit, saus asam pedas, dan irisan nanas, dimakan dengan nasi hangat mengepul.
Babushka menyadari muka Tirta dan tertawa geli, "Vse v poryadke! Tidak masalah kalau anda mau muntah. Saya juga dulu muntah-muntah sampai berhari-hari saat pertama kali mencobanya."
Tapi Tirta merasa begitu sayang sudah menghabiskan uang untuk ikan-ikan itu, sekalipun sebenarnya sangat murah.
"Kapan-kapan saya buatkan ikan goreng saja untuk kita nikmati bersama," janjinya kepada Babushka, yang lalu menjawabnya dengan mengangguk dan tersenyum manis.
"Da, mozhno! Boleh saja kalau sudah ada minyak atau mentega pembagian lagi. Minggu lalu sampai ada yang berkelahi karena antriannya begitu panjang dan akhirnya banyak yang tidak kebagian," terang Babushka sambil membawa piring-piring ke tempat cucian dan membersihkannya.
Yakutsk adalah tempat yang sangat jauh dari pusat pemerintahan. Paket bantuan pemerintah begitu berharganya untuk menghadapi musim dingin yang akan segera tiba. Tempat ini tidak banyak menghasilkan produk pertanian. Sebagian warga kadang memanfaatkan pekarangan untuk menanam sayuran, namun jelas hasilnya tidak akan seberapa.
Tirta kemudian naik ke lantai atas, dan menggosok giginya, berharap bau amisnya akan hilang. Namun dia sadar hal itu tidak terjadi saat berusaha menghembuskan napasnya ke telapak tangan sendiri.
"Setidaknya jangan sampai menempel di kertas," pikirnya sambil mencuci tangan dengan sabun sampai berkali-kali, lalu kembali ke mejanya untuk mengetik surat dan laporan. Setidaknya walau hari ini diawali dengan kegagalan, ada kisah yang bisa dia kirim ke tanah air.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat-Surat dari Yakutsk
Tiểu thuyết Lịch sửUntuk bisa memahami mengapa sosok Tirta adalah yang paling berhasil mengatasi luka dan trauma di dalam dirinya di dalam novel Jurang Salak Satu, kita perlu memahami latar belakang hidup Tirta yang dipenuhi pengkhianatan, direndahkan, bahkan diasingk...