Yakutsk,
17 Agustus 1991
Ibunda tersayang,
Aku ingin minta maaf karena kadang berbohong. Aku tidak ditempatkan di Moskow, kota yang foto-foto megahnya kukirim minggu kemarin. Aku tidak ingin membuat Ibu cemas dan ingin tetap menyimpannya sampai saat pulang nanti, tapi Ibu sudah mengajarkan, nurani tidak akan sanggup menyimpan bohong lama-lama, apalagi ke orangtua sendiri.
Tolong tidak khawatir, Yakutsk tidak terlalu jauh dari sana. Tidak juga terlalu terpencil juga. Suasananya mirip-mirip Cianjur.
Sungai Lena mirip Citarum, yang sering Ibu ajak mengunjunginya waktu kecil. Mereka juga menangkap ikan di sungai ini, seperti juga yang orang kita lakukan Waduk Cirata. Ikannya besar dan enak-enak. Sepertinya kapan-kapan Ibu akan kuajak berkunjung dan makan ikan bakar.
Di sini masih hangat, walau sesekali turun hujan. Tapi aku sudah dibelikan mantel bulu.
Kukirim foto-foto perjalanan di Trans Siberia. Russia tetap negeri yang indah dan megah. Tolong berikan bersama surat berikutnya ke Pak Wayan.
Sembah sujud mohon ampun dari anandamu,
Tirta
Suara bergemurutuk keluar dari mesin tik saat Tirta menggulung habis kertas, lalu menariknya keluar. Diambilnya satu kertas lagi, merapikan posisinya di penggulung, dan mulai menekan tombol-tombol ketik yang berisik itu lagi.
Yakutsk, 17 Agustus 1991 – Pagi sesampai di Yakutsk, suasana sudah sangat dingin mencekam. Baru saja terjadi penembakan di distrik Kangalassy, kawasan dekat pelabuhan Sungai Lena yang dikenal sebagai daerah rawan kejahatan. Penembakan ini menambah daftar panjang insiden kekerasan di wilayah tersebut.
Menurut informasi yang dihimpun, korban, seorang pria berusia sekitar 30-an, ditemukan meregang nyawa di sebuah gang sempit dengan luka tembak di dada. Hingga kini, identitasnya belum terkonfirmasi. Seorang warga setempat, Ivanovsky Fyodorovich, yang ditemui di lokasi kejadian, mengatakan bahwa wajah korban tidak dikenal oleh penduduk sekitar. Ada desas-desus bahwa dia agen intelijen yang menyamar, dan terbongkar," ujarnya dengan nada serius.
Namun hal tesebut dibantah oleh pemilik kios daging di depan tempat kejadian, Anatoly Semenovich, "Hal seperti itu sudah jadi makanan sehari-hari. Distrik ini memang kurang aman,"
Dari keterangan petugas setempat, mereka masih memburu Boris Mikhailovich Ustyugov, yang menurut saksi, tampak di sekitar tempat itu pada malam sebelum kejadian. Ia pernah diadili atas kasus serupa 12 tahun lalu. Mereka membantah hal ini sebagai bagian dari gejolak politik.
(Tirta)
Diambilnya kertas ketiga, menghirup napas pelan-pelan, dan mulai mengetik lagi
Yakutsk,
17 Agustus 1991
Yth Mas Winarto,
Apa kabar, Mas? Saranmu benar, sekalipun di kantor itu aku merasa disingkirkan, dan Pak Wayan memang sebrengsek itu, tapi sejauh ini Yakutsk masih terlihat seperti surga. Sungai Lena mengalir jauh seperti kristal, membelah Daratan Siberia, menuju Laut Laptev, sebelum kutub. Aku sempat berpikir untuk sekalian nanti pensiun di sini saja.
Selama seminggu lebih perjalanan, aku sempat merenung, apakah memang dunia jurnalisme bukan duniaku. Ataukah harus kubocorkan saja apa yang sebenarnya terjadi, agar masyarakat tidak mau lagi dibodohi? Aku kadang malu, pemungut sampah saja kerjanya lebih mulia dari kita. Saat menyetorkan hasil pungutan mereka, mereka jujur mengakui, besi itu ya besi, plastik itu ya plastik. Sampah makanan yang jelas busuk dan tidak berharga mereka buang, bukan malah dipoles agar seperti emas.
Datanglah kapan-kapan ke sini, aku akan menjamumu makan ikan di sini. Sesekali mereka menangkap ikan yang besar-besar saat di perjalanan dari Tynda tadi Subuh.
Salam
Tirta
Namun kemudian Tirta termenung lama, Surat ini mungkin melegakan sesak di hatinya, yang masih belum juga dia temukan jawabannya saat sampai di Tynda. Mas Winarto memang sahabat terbaik sekaligus senior yang selalu membimbingnya sejak pertama kali bergabung di media tersebut. Tapi tidak ada yang bisa memberikan jaminan suratnya tidak akan dibocorkan kepada Pemimpin Redaksi. Dia tidak ingin disingkirkan lebih jauh dan terpencil lagi, di kutub sekalian, misalnya. Atau mungkin juga di rig pengeboran minyak lepas pantai yang pastinya tidak ada siapa-siapa selama berminggu-minggu. Atau bisa juga dikirim ke medan perang, bertaruh nyawa.
Maka dengan mendenguskan napas, dibukanya kunci penggulung kertas, yang mengeluarkan bunyi, "Tak!" dan menarik sekuat tenaga kertas yang selanjutnya dia remas-remas dengan penuh emosi itu. Tirta kemudian membuangnya ke tong sampah.
Tirta melipat kedua lembaran surat tersisa, memasukkannya ke amplop kuning, dan mulai mencuci dan mencetak foto-fotonya. Ia sudah terbiasa mengambil dan mengolah foto sendirian. Kamera FM2 itu masih baru dan mengkilat, ia beli dengan uang tabungannya selama bertahun-tahun.
Bekerja dengan jujur membuatnya sulit mendapat penghasilan tambahan. Saat rekan-rekannya yang lain dengan mudah mendapat amplopan, demikian mereka menyebutnya untuk pesanan berita dari pejabat tertentu, Tirta merasa itu akan mencemari spirit jurnalistiknya.
Susahnya, perilaku itu kadang justru didorong oleh pemimpin redaksinya sendiri. Sesekali dia memberikan brief yang jelas merupakan pesanan. Biasanya pertanyaan dan jawaban sudah disiapkan sejak awal. Wawancara yang dilakukan hanya sandiwara, karena pejabat tersebut takut tersilap lidah dan akhirnya membuat keributan.
"Sudahlah, perusahaan juga tak mampu membiayai hidup kalian segitu layaknya," tegur Jokepo. pemimpin redaksinya.
Tentu saja karena tidak menyukai hal-hal seperti itu, setiap kali ditugaskan kepadanya, Tirta selalu mengerjakannya dengan asal-asalan. Perlahan dia ditempatkan di desk yang tidak lagi strategis, dan berakhir dikirimkan ke negeri antar berantah ini.
Tentu saja Tirta mengerti, ini sama saja dengan hukuman mati. Karirnya sedikit lagi tamat. Siapa yang sanggup lama-lama bertahan di kota yang terkenal dengan tempat terdingin sedunia ini?
"Itu masih lebih baik daripada mati kelaparan setelah dipecat sepihak. Tidak akan ada yang mau lagi merekrutmu, lingkungan pergaulan pemimpin redaksi itu orangnya itu-itu saja memang. Dalam sekejap omongan buruk soal kita akan tersebar ke mana-mana," nasihat Winarto, seniornya.
Ya, jelas Tirta tidak sepolos itu dan sangat mengerti penzaliman yang dilakukan kepada dirinya. Pada akhirnya, sekalipun marah dengan keputusan tersebut, toh ia bisa memutuskan berdamai dengan emosinya dan menurut saja.
"Paling tidak berkunjung ke negeri orang, banyak hal yang bisa diceritakan, ketimbang sibuk menjilati pejabat di sini," pikirnya jijik.
Dalam waktu satu jam saja, seluruh foto itu sudah selesai dicetak. Tirta cukup terlatih untuk mengubah kamarnya menjadi ruang gelap dengan mengakali peralatan yang ada. Tentu hasilnya tidak bisa terlalu sempurna. Namun cukup layak untuk kepentingan percetakan. Dia lalu menyelipkan foto-foto tersebut ke amplop, mengelem, dan memberikan perangko.
"Ah, Babushka, di mana kantor pos setempat?" Tanyanya dengan Bahasa Russia terpatah-patah.
Babushka, yang sehari-hari ditugasi pemerintah menjaga dan membersihkan khrushchyovka tersebut, dengan senang hati menunjukkannya, tepat dua blok dari bangunan mereka. Namun dia juga menawarkan untuk membantu mengeposkan surat itu.
"Ne perezhivay, tidak perlu khawatir, saya juga akan ke pasar sebentar membeli cairan pembersih," kata Babushka. Tirta merogoh kantongnya dan menyisipkan uang. Sekalipun Babushka, seperti Orang Russia lainnya yangg tidak keberatan membantu orang yang sudah dikenal, namun sedari dulu dia membiasakan untuk tidak berhutang budi di masa depan. Impas ya impas.
"Spasibo!" ucap Babushka berterima kasih dengan tersenyum lebar, lalu buru-buru mengambil sepedanya dan berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat-Surat dari Yakutsk
Fiksi SejarahUntuk bisa memahami mengapa sosok Tirta adalah yang paling berhasil mengatasi luka dan trauma di dalam dirinya di dalam novel Jurang Salak Satu, kita perlu memahami latar belakang hidup Tirta yang dipenuhi pengkhianatan, direndahkan, bahkan diasingk...