[STORY 11]
[GENRE: ROMANCE - MARRIAGE LIFE]
Blurb:
Jennifer harus menggantikan posisi calon istri seorang pengacara yang kabur saat hari pernikahan. Awalnya Jennifer menolak, karena di usianya yang masih sembilan belas tahun, ia pikir terlalu cepat...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
⚖️⚖️⚖️
Kak Julian mengantarku sampai di depan gerbang kampus. Aku yang jadinya was-was, karena dari sini terlihat jika gerbang sudah ditutup. Mampus, aku benar-benar terlambat!
"Kak, Jeje masuk dulu, ya." Aku segera membuka pintu mobil dengan tergesa-gesa. Pikiranku jadi tidak karuan. Dulu waktu SMA aku tak perduli mau terlambat selama apa pun. Dihukum pun tak apa, aku malah suka. Lain halnya dengan sekarang, merasa terlambat bukannya santai, aku malah panik sendiri. Eum, apakah ciri-ciri calon profesor sudah terlihat di diri ini?
Baru saja aku ingin beranjak keluar dari mobil, tanganku sudah ditahan saja oleh Kak Julian. Ish, kenapa lagi, sih, dia ini? "Tunggu sebentar, Je," ucapnya singkat, lalu beralih mencari sesuatu di saku jasnya. Entah apa yang dicarinya, Kak Julian terlihat kesulitan. "Ini, Jeje pake, ya." Akhirnya Kak Julian mengeluarkan sebuah kalung yang liontinnya adalah cincinku yang dimintanya kemarin. "Sini, Kakak pakein."
Kak Julian langsung memakaikan kalung itu di leherku. "Bukannya kemarin katanya Kakak aja yang nyimpen?" tanyaku heran sembari memegangi cincin yang sekarang sudah menjadi liontin kalung. Padahal kemarin sudah diminta olehnya.
"Ini punya Jeje, jadi udah seharusnya Jeje yang pakai. Sengaja Kakak jadiin liontin kalung, biar temen-temen baru kamu nanti nggak curiga kalau kamu udah nikah." Masuk akal juga penjelasan Kak Julian. "Nah, selesai." Kak Julian sepertinya sudah selesai memasang kalung cantik ini di leherku. Ah, kenapa ini? Kenapa aku malah senyum-senyum sendiri? "Uang jajan kamu udah Kakak transfer, ya. Jadi nanti Jeje kalau selesai ospek, bisa pulang sendiri." Nada bicara Kak Julian beralih jadi ketus, padahal sebelumnya nadanya lembut.
"Itu, kan, Kakak sendiri yang minta pulangnya bareng." Aku mengecek notifikasi yang barusan muncul dari ponselku. Ternyata benar, ada kiriman uang dari rekening Kak Julian, sebesar lima puluh juta. Hanya sepuluh juta, nih? Oma saja biasanya memberikan aku dua ratus juta sebulan. Ya, sudahlah, tak mungkin juga aku protes pada Kak Julian, yang ada nanti uangnya ditarik lagi. Lagipula hidup pas-pasan kemarin itu membuat aku sedikit bisa berhemat.
"Udah, sana, keburu dihukum. Kakak juga mau jalan, client udah nungguin," ujar Kak Julian. Ya, sudah aku pun turun dari mobil. Kak Julian sempat membuka kaca jendela mobilnya dan melambai padaku, kemudian benar-benar pergi.
Tak mau lebih lama berdiri di sini sendirian, aku segera berlari menuju gerbang. Sialnya, gerbang memang sudah ditutup. Para mahasiswa baru terlihat berkumpul dan duduk di lapangan sana. Mana tidak ada orang yang jaga di gerbang. Ini kampus elit, tetapi tidak memperkerjakan satpam? Yang benar aja.
"Kak, bukain, dong!" teriakku sembari gelendotan di pagar besi. Ya, ampun sudah jelas-jelas mereka jauh di sana, bodoh sekali aku malah meneriaki mereka. Mereka saja seukuran semut bila dilihat dari sini.
"Woi, Je!" Tiba-tiba saja Eja sudah berdiri di sampingku, dia habis berlari hingga sekarang ngos-ngosan.
Aku langsung memberikan ekspresi bingung. Kenapa bisa Eja juga terlambat? "Lo telat juga?" tanyaku heran.