⚖️ 31. Senyum Ceria Mereka

51 20 0
                                    

⚖️⚖️⚖️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⚖️⚖️⚖️

Jam tujuh pagi aku sudah rapi memakai kaos oversize. Memang harusnya, kan, setelan semacam ini yang cocok untuk anak tekhnik. Semalaman aku tidak makan satu sendok pun. Mungkin karena sibuk galau. Cih, sekarang malah merasa menyesal, kenapa kemarin-kemarin aku seperti orang bodoh.

Aku diam-diam keluar dari kamar sembari menenteng sepatuku. Kamar Kak Julian, sih, terlihat sepi. Apa dia sudah berangkat, ya? Baguslah kalau dia sudah berangkat, jadi aku tidak perlu bertatapan dengannya.

Dengan santai aku berjalan turun dari tangga, sudah lengkap memakai sepatu dan memakai tas yang isinya hanyalah buku gambar dan beberapa alat tulis. Seperti aku tidak salah ambil jurusan, karena jurusan ini tak perlu baca buku setebal bantal dan menghapal rumus rumus yang sulit. Entahlah, ini baru beberapa hari, semoga saja memang tidak ada. Aku alergi bertemu huruf x dan y yang menyerang matematika.

Di luar dugaan, ternyata Kak Julian sudah sangat rapi dengan kemeja hitamnya itu. Dia duduk di sofa sekarang. Entah apa yang dia lakukan, dia malah tidak melakukan apa-apa.

Tanpa mau menyapa dan menoleh padanya, aku langsung berjalan menuju pintu depan. "Jeje, tunggu." Ah, sial! Kak Julian malah mencegahku. Aku terpaksa berhenti karena lenganku ditahan olehnya. Dia mau apalagi, sih?!

"Apa lagi, Kak?" Aku segera menepis tangannya yang menggenggam salah satu lenganku.

"Kakak anterin, ya? Ada yang mau Kakak omongin." Aku masih diam, tidak menjawab ajakan Kak Julian.

"Jeje bisa naik taksi, atau minta Eja jemput," jawabku singkat.

"Tapi suami kamu itu Kakak, bukan Eja. Jeje tunggu di mobil dulu, Kakak mau ambil berkas dulu di kamar." Kak Julian lalu benar-benar naik ke atas yang katanya akan mengambil berkas.

Terpaksa aku menurut dan segera masuk ke mobil duluan. Lama aku menunggu Kak Julian, sampai-sampai aku bosan. Dia mengambil berkas saja seperti berangkat umroh.

Baru saja membatin, yang dibatin sudah datang ternyata. Kak Julian terlihat tergesa-gesa menuju mobil dan membawa beberapa berkas yang ada di dalam map.

Sepanjang perjalanan, aku hanya bermain ponsel—membuka sosial media, bermain game offline, karena bosan. Kak Julian juga tidak memulai pembicaraan duluan, tuh. Padahal, tadi katanya dia ingin bilang sesuatu.

Sampai mobil berhenti di depan gerbang kampus pun tidak ada yang mulai berbicara lebih dulu. "Makasih, Kak. Jeje berangkat." Aku mulai membuka pintu dan segera turun, tetapi lagi-lagi tanganku ditahan oleh Kak Julian.

"Je, tunggu," ucap Kak Julian dengan cepat, diiringi ia yang menahan tanganku. Aku menoleh ke belakang, menatapnya. "Nanti Kakak jemput pulangnya, ya. Maafin Kakak, Kakak mau nebus kesalahan Kakak, Kakak mau ajak Jeje dinner. Nanti Kakak jemput Jeje, terus Kakak temenin Jeje ke salon, biar di-make-over dan jadi lebih cantik. Mau, kan?"

Penghujung Rasa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang