I don't want life, if it's not with you.

145 20 6
                                    

Udah, aku sumpek banget kayanya. Beneran buntu banget. Ini draft tahun tahun lalu. Udah buat banyak draft belakangan ini dalam berbagai genre. Gak ada yang sanggup buat dilanjutin, entah ngidenya ngadat atau mendadak ilang aja skill nulisnya.

Selalu ngerasa tulisanku gak pernah nyampe vibesnya ke pembaca, selain untuk genre fluff. Suka kesel sendiri pas baca ulang.

Malah niatnya mau nutup work ini hmm...

Ada yang berbeda dari ulang tahunnya kali ini.

Biasanya bocah dengan surai jelaga itu akan mengetuk pintu kamarnya, memaksa Jisoo untuk terjaga di pukul 10 hanya untuk mengucapkan selamat bertambah umur dan tersenyum bodoh.

Tentu dengan topi kerucut yang melingkar di kepala dan confetti.

Lalu Jisoo akan bersungut kesal sebab tidurnya terganggu dan Taeyong akan menertawainya.

Tak ada yang menarik, hanya ada Taeyong dan hadiah yang entah apa bocah itu berikan pada Jisoo.

Bocah itu akan selalu mengucapkan paling pertama, memasuki kamar Jisoo tanpa permisi kemudian berbaring di atas tempat tidur.

Bergelung dalam selimut dan mengusel pada bantal milik Jisoo. Sang surai kecoklatan merengut, tak terima kasurnya diberantaki oleh bocah penyusup tidak tahu diri.

Jisoo akan menyusul naik, meminta Taeyong bergeser ke sisi tempat tidur hingga ia jatuh menghantam lantai.

Lantas perang bantal dimulai. Suara tawa terdengar begitu menggembirakan, seolah tak ada luka yang menganga, saling membenturkan bantal di genggaman masing-masing.

Terhempas sebab pukulan yang terlalu berenergi, lalu salah satunya akan bangkit untuk memberi balasan.  Berguling ke sana kemari dan melempar tawa.

Fana yang membahagiakan, padahal mereka tahu ada hari esok yang membawa nestapa. Ini bukanlah dunia yang pantas bagi anak kecil untuk tertawa riang.

Tapi siapa peduli? Bahkan jika tempat sempit ini menjadi tempat peraduan terakhir mereka tak akan protes asal bisa bersama.

Hingga ketika lonceng pukul dua belas berdentang, Jisoo adalah orang pertama yang akan mengalah pada perang abal-abal mereka. Menghentikan permainan, mendorong Taeyong untuk segera terlelap.

Tertidur dalam satu selimut dengan tangan yang bertaut.

****

"Halo komando pusat? Kau mendengarku? 6145 beserta 5788 menghilang dari kamar segel!"

Bunyi alarm menggema ke seluruh ruangan. Pria berpakaian serba putih itu menyimpan komunikatornya ke dalam poket. Ratusan orang dengan pakaian serupa serentak memenuhi koridor, berpencar ke seluruh ruangan. Memeriksa lorong demi lorong mencari dua objek eksperimen sains yang menghilang dari tabung segel.

"Taeyong, cepat!" Gadis itu berteriak kalang kabut. Jemarinya menuntun lengan Taeyong untuk mempercepat langkah.

"Jisoo!"

Genggaman mengerat, Taeyong yang melakukannya. Mereka berlari ke sepanjang koridor, mencari celah untuk menghindar dari gerombolan berbaju putih.

"Dimana?" Jisoo bertanya di sela-sela pelarian.

Sang lelaki tak menyahut, sibuk mengamati satu persatu pintu yang ia lewati.

"Kau bilang kau tahu," Jisoo mendesak lagi.

Taeyong masih tak menjawab, "Sial, disaat seperti ini melakukan rencana B pun sama rumitnya."

Lelaki jelaga itu mempererat tautannya. Waktu mereka singkat, dan suara derap kaki itu terasa semakin dekat mengejar dari belakang.

"Di sana, Jisoo!" Taeyong melesat cepat, menggandeng Jisoo yang masih berusaha mengimbangi.

Mereka tiba di gerbang masuk pusat transportasi digital. Jisoo menegang sedemikian rupa ketika matanya menangkap benda pipih canggih dengan angka-angka bertengger di sisi kiri pintu.

Mereka perlu kode untuk bisa masuk.

Sebelum Jisoo sempat bertanya, Taeyong lebih dulu menyambar benda itu. Menekan-nekan tombol, memasukkan digit angka yang entah bagaimana bisa ia ketahui.

Gerbang yang terbuka memancing lengkung. Taeyong tersenyum lebar, mempersiapkan diri untuk melangkah.

Sedetik sebelum seluruh tubuhnya membeku.

"Taeyong, ada apa? Pintunya tak terbuka." Jisoo berseru ketika tak ada yang terjadi. Netranya mengedar waspada.

"Mereka mendekat Taeyong, kita akan tertangkap!"

Taeyong tak menjawab, pikirannya kacau balau, ini di luar prediksi. Sejauh penyelidikannya selama beberapa minggu ini, pintu ini belum dilengkapi oleh pengamanan biometrik. Lalu mengapa sekarang—

Mustahil. Ia tak punya akses, ia bukan siapa-siapa selain objek eksperimen di sini. Pelarian ini direncanakan oleh dua anak berusia duabelas tahun yang mencoba merangkak keluar dari kandang. Meraih secercah cahaya untuk merubah takdir.

Baiklah. Bukan masalah jika ia harus mati di sini. Disiksa? Dihukum? Dimusnahkan karena mencoba kabur? Objek eksperimen?

Persetan dengan semua itu. Ia akan memberi segalanya agar Jisoo bisa terbebas walau tanpanya. Keluar dari sini dan meraih kehidupannya sendiri.

Suara langkah kaki susul menyusul— kalau ia tidak salah menerka jumlahnya lebih dari limapuluh.

Taeyong membawa tubuh jisoo mendekat. Menyejajarkan kepalanya dengan tinggi bocah itu.

"Jichu, dengar..."

***

"Ah, kukira anak-anak kami sudah berhasil kabur dari rumahnya sendiri." Kedua bocah itu mengalihkan pandangan pada sumber suara.

Profesor Ji berjalan mendekat, diikuti oleh segerombolan orang berbusana putih yang berpencar membentuk lingkaran.

"Jichu, ikuti instruksiku," pinta sang surai jelaga.

"Jangan bodoh Taeyong, hingga mati pun aku tak sudi mengikuti rencana gilamu. Kita akan keluar dari sini, berdua." Jisoo menekan kalimatnya.

"Apa—"

"Mencoba kabur, hm?"

"Sial."

"Anak kecilku yang malang," Pemuda paruh baya itu memasang wajah murung. Mendramatisir.

"Padahal sedikit lagi kalian berhasil keluar dari sini. Tapi sayang, otak manusia ternyata memang tak secerdik itu ya?" Ia menambahkan.

Senyum licik terbit, profesor itu mengambil langkah pendek. Mencoba menyentuh pundak Taeyong.

"Taeyong, sebagai sampel dengan predikat terbaik pun melupakan hal sepenting ini. Sandi angka? Kau pikir abad berapa sekarang bocah?"

Jisoo gemetar hebat dibuatnya. Otaknya berputar lebih keras mencoba mencari cara agar bisa membantu Taeyong.

Bagai kuda yang mengamuk, gadis itu menubrukkan tubuhnya pada salah satu pekerja yang mengelilingi mereka hingga ambruk. Merampas paksa ID Card yang tersembunyi di balik jas putih orang itu.

"Taeyong, dapat!"

Di tengah hiruk pikuk yang Jisoo sangka akan menemukan jalan keluar. Secercah cahaya merah membidik tepat di dahinya.

Taeyong menegang manakala bunyi alarm menggema ke seluruh ruangan. Seakan mengaum menahannya untuk diam di tempat atau mati.

Taeyong meraih jemari Jisoo, membawanya ke sayap kanan gedung mencoba menyelamatkan diri.













Kasih request genre dong. Kalian mau yang seperti apa.. otherwise gue bakal ngadat banget buat next up. :(







𝑶𝐮𝐫 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲 - 𝑻aeyong 𝓙isoo                 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang