Malam itu Jisoo memutuskan untuk mengunjungi ruangan Taeyong. Tidak, wanita itu tidak lagi berkehendak untuk memaksa Taeyong memikirkan kembali keputusannya. Tidak juga ia datang untuk bernegosiasi.
"Apa captain di dalam?"
Awak penjaga sekaligus kru inti, Jisung dan Johnny, seketika menoleh. Menemukan wanita dengan terusan marun itu berdiri di sana.
"Nona Jisoo, ada apa?" Johnny menyahut.
"Ada yang ingin ku bicarakan."
Kedua pemuda itu bertatapan sepersekian detik, tampak ragu. Biasanya Taeyong tidak menerima pembicaraan apapun lagi ketika malam telah tiba.
Namun mengingat ini Jisoo, mereka memutuskan untuk memberi jalan masuk.
Tidak ada yang mengatakan ini secara terang-terangan. Hanya seluruh awak kapal tahu bahwa Lee Taeyong, pemimpin mereka yang terhormat, mempunyai sisi tersendiri pada Jisoo yang tidak ditunjukkannya pada yang lain.
Wanita itu mengangkat gaun merahnya sedikit, berterima kasih lantas bergegas masuk.
...
Di ruangan berukuran lebih dari 50 meter bernuansa kayu ini Taeyong berdiri membelakanginya. Tampak fokus di balik papan berisi bidak dan gambar yang dicoret-coret. Bekas siasat yang mereka bahas malam tadi.
Jisoo mengedarkan netranya. Tempat ini tidak banyak berubah, meski tak lagi aroma khas laut itu tercium. Terima kasih kepada Mark yang rutin mengganti pewangi bunga hoya atas instruksinya.
"Captain.."
Gerakan pria berpangkat kapten itu terhenti.
"Siapa yang mengizinkanmu masuk?"
Jisoo tidak menjawab.
Lelaki itu akhirnya berbalik, memutuskan memberi kesempatan Jisoo bicara.
"Kali ini apa?"
"Dengar, aku— tak pernah sekalipun setuju dengan rencana ini."
Taeyong maklum, rencana ini berbahaya. Terlampau berbahaya. Akibat dari penyerangan yang dimulai dari kelompoknya duluan bisa berbalik menjadi petaka. Salah-salah bisa berakhir awak kapalnya yang dijadikan tawanan.
"Aku mengerti kau mengkhawatirkan keselamatanmu, namun keputusan ini diambil secara adil,"
"Percayalah pada kru-mu." Lanjutnya lagi.
Jisoo bergeming.
Perempuan itu melangkah mendekati meja Taeyong yang letaknya sejengkal lebih tinggi dari tempatnya berdiri.
"Buruk sekali rasanya bila kau pikir aku hanya memikirkan diriku sendiri dalam situasi ini,"
"—pikiranku bahkan tak sampai ke situ." Tangannya terjulur, rahang tegas itu ditangkup.
Mata wanita itu melunak, meski Taeyong tetap bergeming, menatap seolah menghujaninya dengan tombak es.
"Apa kau yakin dengan strategimu?"
Taeyong mengangguk dengan kesadaran penuh.
"Jika kau mati apa yang akan terjadi dengan kapal ini? Apa kau siap mempertanggungjawabkan kematian orang-orang ini?" Jisoo bertanya lagi, kali ini lebih emosional. Taeyong menyadari ada setiap setitik bulir di ujung mata kiri wanita itu.
Tidak mungkin tidak ada nyawa yang direnggut dalam pertempuran maut ini. Menang atau kalah, tetap akan ada harga yang harus dibayar. Namun jika tak dilaksanakan, perekonomian pulau barat daya akan selamanya menetap di grafik statistika.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑶𝐮𝐫 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲 - 𝑻aeyong 𝓙isoo
FanficTaeyong and Jisoo in every alternative universe. On going. [Bahasa sedikit mulai membaik di setiap chapter] © start 2020