KIARA'S POV
Sejak pertemuan terakhirku dengan River di kafe, aku tidak pernah lagi menemuinya. Aku sepertinya sudah kehabisan cara untuk mendekatinya. Rasanya seperti semua cara yang kupikirkan untuk mendekatinya selalu berujung sia-sia.
Apalagi waktu itu ada seorang perempuan cantik yang menghampirinya. Dia benar-benar terlihat sangat menawan, sudah pasti River lebih tertarik dengan perempuan sepertinya dibanding denganku.
Meskipun aku tahu aku juga cantik dengan caraku sendiri atau bahkan lebih cantik darinya, mungkin. Namun rasa percaya diriku tetap runtuh. Di benakku, River pasti akan memilihnya. Bukan aku. Dan pikiran itu membuat hatiku terasa berat setiap kali mengingatnya.
"Ki, lo mau sampai kapan galau terus? Lo bahkan belum tahu perasaan River yang sebenarnya. Lo aja belum jujur sama dia tentang perasaan lo. Bisa aja dia juga punya rasa yang sama," Gia tampak frustasi melihat tingkahku yang satu minggu ini selalu merengek di depannya.
Aku menghela napas panjang, merasa lelah dengan semua ini. "Gi, udah pasti River bakal milih si model itu. Lo tahu kan mantan terakhirnya dia siapa? Davina si supermodel! Gue gak ada apa-apanya dibanding mereka."
Gia mendengus pelan sambil melipat tangannya. "Kenapa lo malah jadi insecure begini?"
"Gue gak insecure, Gi," balasku cepat, meski nada suaraku terdengar lemah. "Gue cuma... realistis. Gimana mungkin River bakal suka sama gue?"
Mata Gia menyipit, jelas tidak puas dengan jawabanku. "Ki, denger ya. Sekarang lo jujur aja sama River soal perasaan lo. Masalah dia suka atau enggak sama lo, itu urusan belakangan. Yang penting lo gak hidup dalam tanda tanya terus. Dan... lo gak ngerengek kayak bayi di depan gue setiap hari. Gue udah muak banget."
"Tapi, Gi..."
"Gak ada tapi-tapian, Kiara," potong Gia sambil bangkit dari tempat duduknya. "Lo cuma bikin diri lo makin capek kalau terus-terusan nebak-nebak tanpa kepastian. Jadi, sekarang lo temuin River dan bilang semuanya."
Aku hanya bisa terdiam, menatapnya dengan wajah bingung. Sebelum aku sempat menjawab, Gia sudah menarik tanganku dan mendorongku keluar dari ruang kerjanya. "Udah sana! Jangan lupa kabarin gue hasilnya nanti!" katanya sambil menutup pintu ruangannya.
Aku kini terpaku menatap pintu ruangan Gia yang kini tertutup rapat. Apa aku harus menemui River dan mengungkapkan semua perasaanku padanya? Tapi kalau aku terus menunda, mungkin aku tidak akan pernah tahu bagaimana perasaannya terhadapku.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh di dadaku. Tidak, aku tidak bisa terus seperti ini, menduga-duga tanpa kejelasan.
"Baiklah, Kiara," gumamku pada diri sendiri, "ini saatnya kamu berhenti jadi pengecut dan mulai bersikap berani."
Aku mengepalkan tanganku seakan hal itu bisa membuatku lebih berani. Dengan penuh tekad, aku akan menemui River dan mengatakan semua perasaanku padanya. Tapi, apa aku benar-benar harus melakukannya? Ahh, aku benar-benar bingung sekarang.
*****
Setelah memantapkan diri, aku akhirnya memutuskan untuk menemui River di tempat kerjanya. Suara deru mesin, denting palu yang beradu dengan logam, dan musik koplo yang diputar salah satu pekerja bercampur menjadi satu di suasana proyek ini. Debu-debu pasir beterbangan yang membuatku bersin beberapa kali. Tapi aku tetap melangkah maju.
River sedang berjongkok, memeriksa sesuatu dengan serius. Aku menghampirinya, dan seperti biasa, ekspresi terkejut menghiasi wajahnya ketika dia melihatku.
"Kiara?" sapanya, suaranya sedikit terangkat di tengah kebisingan proyek. "Kamu kemana aja? Kenapa baru muncul sekarang?" ucapnya sambil memegang kedua lenganku dengan erat.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Icy Girl
RandomSiapa sangka pertemuanku dengan seorang perempuan berwajah dingin membuat hatiku menjadi hangat. Di balik sikapnya yang tampak tak peduli, dia... adalah orang yang membuatku sadar, bahwa terkadang merelakan seseorang adalah cara paling ampuh untuk m...