Twenty Three

1.2K 87 3
                                    

10:02 PM

Hari menjelang malam.

Setelah makan malam usai, Aorta menemani Tif tidur malam, sampai dia benar - benar tertidur. Dia membacakan Tif dongeng yang menceritakan tentang Maleficent.

"Lalu, setelah itu.. Sang putri berlari ke istana, untuk menyelamatkan Maleficen--" Aorta berhenti bercerita karena ternyata Tif sudah tertidur pulas.

Dia mengelus lembut dahi Tif, dan menciumnya.

"Selamat malam, Tif."

Aorta pun melenggang pergi, keluar dari kamar Tif.

Hari ini hari yang amat melelahkan baginya. Bermain dengan seorang anak kecil ternyata jauh lebih melelahkan, walau juga menyenangkan.

Dia mengelap keringat yang bercucuran di dahinya dengan punggung tangannya.

Lalu kembali ke kamarnya, dan mencoba tidur dengan segala posisi, namun hasilnya nihil. Dia tidak bisa tertidur sama sekali.

Dia bangkit dari posisinya, dan pergi keluar, mencari udara segar dari balkon utama rumah Theo yang sangat besar.

Udara malam memang menyejukkan. Ditambah pemandangan kota yang ditaburi oleh macam - macam jenis cahaya. Juga sinar bulan dan para bintangnya yang meneduhkan hati. Lengkap sudah keindahan yang Tuhan ciptakan.

Aorta tidak henti - hentinya menatap langit. Pikirannya sudah hilang pergi entah kemana, memikirkan apa. Yang pasti, dia benar - benar tidak sadar kalau seseorang kini berada di sampingnya, memperhatikannya yang sedang memperhatikan langit.

"Kalau kau disuruh memilih antara bintang dan bulan, apa yang akan kau pilih?" Ucapnya, yang tidak juga membuat Aorta sadar akan kehadirannya.

"Aku akan memilih langit."

Seseorang di sebelahnya, mengerutkan dahinya.

Dia pikir, dia tidak mengucapkan langit?

Karena penasaran kenapa, Theo tidak membantah kalau dia tidak membuat pilihan langit.

"Kenapa?"

"Karena tanpa kanvas, kita tidak bisa melukis. Begitupula kalau tak ada langit, keindahan bulan dan bintang tidak bisa terlukis." Ucap Aorta sambil menoleh ke arah Theo.

Sebenarnya sebelum dia menjawab pertanyaan kedua dari Theo, gadis itu sudah menyadari keberadaannya. Dia tidak berkata sinis seperti biasa, karena dia tidak mau mengganggu pemandangan malam yang indah ini.

"Kalau aku akan memilih bulan." Ucap Theo yang ikut menatap langit seperti Aorta.

"Aku tidak bertanya padamu." Ucap Aorta sinis, yang kemudian disertai tawanya.

Theo menatap gadis itu dengan tatapan tajam, dan bibir yang dimanyunkan.

"Oke, maaf maaf. Aku hanya bercanda."

"Karena, bulan hanya ada satu. Ayahku pernah bilang padaku disaat aku menangis karena tak ingin jauh darinya, 'Kalau kau merindukanku, lihatlah Bulan diatas sana. Tataplah dia, karena aku juga menatapnya dari belahan dunia yang berbeda.'" Ucap Theo.

"Aku selalu menganggap Bulan adalah sebuah perantara yang bisa mengurangi rasa rinduku terhadap ayahku, dulu."

Theo menghela napas panjang, "Sekarang, yang kurindukan malah ibuku. Dulu aku pikir, mungkin aku juga bisa melampiaskan kerinduanku pada bulan. Tetapi kini aku sadar, aku sendiri tidak bisa memastikan dia masih berada di dunia yang sama walaupun berbeda dimensi. Karena mungkin saja dia tak hanya beda dimensi, tetapi berbeda dunia juga." Lanjutnya.

"Aku kira seorang dokter muda yang dipaksa menjadi dosen pengganti oleh ayahnya adalah scientist gila. Seperti ayahku. Dia menganggap teori Einstein benar sebenar - benarnya. Sedangkan ibuku, dia masih beragama. Aku juga tidak bisa meyakini teori Albert seratus persen benar sama seperti ibuku. Maka dari itu, aku mengikuti ibuku."

Theo tersenyum, "Aku pikir pembahasan kita kali ini serius sekali?"

Aorta hanya bisa terkekeh kecil, karena sebenarnya dia tak mengerti jenis pertanyaan itu.

Seperti, pernyataan yang berupa pertanyaan.

Theo melepas pengangannya pada tralis.

"Kau pucat sekali?" Ucap Theo saat melihat sepenuhnya wajah Aorta.

Dia memang sedikit kelelahan hari ini, tetapi ini hanya sebuah Trik Licik.

"E-eh? Oh ya?" Aorta meraba wajahnya.

"Kau mau tahu caranya agar terlihat lebih segar?" Tanya Theo sambil tersenyum penuh arti.

Aorta memicingkan matanya ke arah Theo yang sedang tersenyum aneh itu. Kemudian membuang wajahnya ke lain arah karena sepertinya dia tak sanggup melihat senyuman dari seorang malaikat yang kadang berjubah setan itu.

"Bagaimana?" Tanya Aorta, sedikit penasaran.

Cup!

Theo mengecup pipi kiri Aorta, yang sekarang membeku, lupa bagaimana caranya bernafas.

Theo melenggang pergi meninggalkan Aorta sambil tersenyum puas.

"Selamat malaaaam!" Seru Theo dari dalam rumahnya.

Dan pada saat itu, rasanya ingin sekali bergerak satu senti meter saja. Tetapi, untuk menelan ludah saja rasanya seperti menelan batu kerikil.

---





Bloody LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang