9. Kesempatan

8.7K 607 18
                                    

"Lo dengar kabar itu dari mana?" sahut Raya tanpa bisa menyembunyikan raut terkejutnya.

"Sempat denger aja sih dari anak-anak, tapi itu nggak penting kabar itu dari mana." Evan hampir mendengus. Agaknya ia mulai kesal karena Raya tampak mengulur-ulur jawaban. "Jadi  bener lo suka sama bocah aneh itu? Cewek yang lo taksir itu beneran dia?"

"Yah," Raya mengambil napas sebentar. "Gue emang pernah suka sih sama Melissa," akunya kemudian.

"Terus kenapa lo nggak pacarin dia?" selidik Evan.

"Gimana ya?" Raya berkata sambil memasang earphone yang semenjak tadi melingkar di leher ke kepala. "Lo pasti tahu dia tipe cewek yang masih terlalu anak-anak. Gue nggak tega misal macarin dia terus mutusin hubungan gitu aja."

Evan mangut-mangut. "Kalau soal dia yang masih bocah sih gue setuju," ujarnya segera. "Tapi kok lo bisa-bisanya sih tertarik sama cewek model kayak Melissa? Bukannya dia itu..."

"Manis, kan?" potong Raya.

"Iya gue tahu, tapi dibanding pacar-pacar lo selama ini kan dia jelas jauh," ujar Evan, tak habis pikir.

"Itu karena mereka udah kenal make up dan fashion. Coba aja Melissa dandan dikit. Pasti langsung banyak cowok ngejar-ngejar," ujar Raya yakin. "Lagian menurut gue aslinya dia udah cakep, cuma kurang percaya diri aja. Diam-diam banyak juga lho yang suka merhatiin Melissa."

"Tapi dia kan aneh, Ray. Bocah absurd kayak dia mana bisa populer di kalangan cowok? Populer sebagai orang heboh sih gue percaya," timpal Evan sinis.

"Lo sebenarnya kenapa sih, Van? Lo kayaknya sebel banget sama Melissa tapi kesannya kok lo juga nggak suka kalau ada orang lain suka dia?" kata Raya gerah.

"Nggak tahu. Gue cuma masih nggak ngerti aja kenapa lo bisa tertarik sama bocah macam dia," ujar Evan seraya membuang arah.

"Oke, gue akui gue emang kagum sama Melissa karena suatu hal, tapi sejauh ini gue belum ada niat buat macarin dia, sih. Gue senang aja bisa mengenal anak itu. Saran gue sih, kalau lo nggak suka Melissa ya udah biarin aja. Nggak usah peduliin apalagi gangguin dia," pesan Raya sebelum akhirnya pergi meninggalkan Evan.

***

"Etta kenapa nggak masuk, An?" tanya Melissa, mendapati bangku di sebelah Anna kosong.

"Kurang tahu juga gue. Kemarin sih dia cuma bilang pengen ngabisin waktu bareng Farhan gitu," terang Anna seraya memasukkan beberapa buku ke dalam laci. Jam Ekonomi baru saja selesai.

"Ish, nggak faedah banget. Masa bolos cuma mau pacaran?" komentar Melissa, tepat saat Natly tiba-tiba datang menuju mejanya.

"Mel, tadi itu beneran lo yang berangkat bareng Kak Evan?" tanya cewek itu.

"Eh, nggak bareng juga sih. Kebetulan aja pas gue berangkat Kak Evan muncul dari depan kavling," jawab Melissa walau agak heran. Tumben-tumbenan Natly mengajaknya bicara.

"Ooh gitu," Natly mengangguk. "Tapi tadi pagi gue juga lihat lo sama Kak Evan berhenti di depan gerbang, terus ngobrol bentar sama Kak Raya. Kalian ngomongin apaan?"

Melissa sedikit salah tingkah. "Ng-nggak, kok. Nggak ngomongin apa-apa. Cuma... basa-basi biasa."

"Masa?" Natly menautkan alis, tampak tak percaya. "Kok kayaknya serius banget? Sebenarnya kalian ada urusan apa?"

"Eelah, kepo amat!" Mizty tiba-tiba berceletuk dari bangkunya.

"Maksud lo apa?" sahut Natly, tersinggung. "Gue kepo apa nggak bukan urusan lo, kan? Daripada ngurusin orang, lebih baik lo urus deh kepentingan lo sendiri!" katanya kesal.

Panic Girl Van Java (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang