1. Tukang Telat

22.9K 838 35
                                    

"Ckkk, lagi dan lagi. Kamu lagi!" Satpam penunggu gerbang menatap Melissa dengan pandangan bosan. "Ayo, masuk! Kebiasaan," omelnya seraya tak jadi mengaitkan gembok yang telah dipegang.

Melissa cuma meringis karena kecapaian. Ia baru saja berlari dari halte bus menuju sekolahnya, SMK Bunga Bangsa. Menempuh jarak 500 meter seorang diri dengan kecepatan tinggi tentu sangat melelahkan. Namun hal itu sudah biasa bagi Melissa. Asalkan ia bisa sampai sekolah lalu masuk kelas dengan aman, ia sudah bisa bersyukur menjalani sisa hari.

Saat ini jam menunjukkan pukul tujuh, lebih dua menit setelah bel berbunyi. Beruntung satpam sekolah masih menginjinkan Melissa masuk gerbang dengan normal. Andai tiga menit ke depan saja ia baru datang, Satpam pasti sudah menggiringnya ke dalam pos. Lalu guru piket di dalam akan memberi Melissa tiga pilihan hukuman. Antara lain;
1) Keliling lapangan 10 putaran lalu squat jump 50 kali
2) Mengabsen dari kelas 10 sampai kelas 12 semua jurusan
3) Membersihkan WC seluruh sekolah termasuk WC angker belakang gudang.

Jelas semua pilihan tak ada yang menyenangkan, namanya juga hukuman. Melissa lebih sering memilih hukuman kedua meskipun sangat memalukan. Bayangkan saja, ia harus mengabsen kelas sebanyak tiga angkatan. Dengan kata lain, Melissa mesti memasuki 30 kelas dari sejumlah gedung yang terpisah-pisah, lalu mencatat daftar absensi di setiap kelasnya. Salahnya datang terlambat memang.

Segera Melissa berlari menyusuri koridor panjang menuju kelasnya. Kelas Melissa 10-Administrasi Perkantoran-1, atau biasa orang sebut 10-AP-1. Gedungnya terletak di deretan paling pojok nomor dua dari ujung gedung utama. Semua kelas 10 berada lantai satu.

"T-tunggu, Bu Henny!" Melissa berteriak lagi begitu melihat wali kelasnya hendak menutup pintu. "Tunggu...!" serunya sekuat tenaga hingga serentengan anak di depan kelas-kelas sebelah menoleh.

"Melissa?" Bu Henny geleng-geleng kepala melihat anak itu. "Telat lagi kamu? Tobat, tobat..." Beliau menjitak kepalanya seperti yang sudah-sudah.

"Baru 2 menit kok, Bu," sahut Melissa saat dipersilakan masuk oleh wanita paruh baya berkacamata tersebut.

"Dua menit tetap saja telat, kan? Kapan kamu mau berangkat 30 menit lebih awal?"

"Ya dari rumah saya tepat 30 menit, Bu, sebelum bel pelajaran dimulai," sahut Melissa sambil nyengir.

"Dasar telatan kamu ini!" Bu Henny menjewer kupingnya dengan gemas.

"Melissa payah!" Anak-anak sekelas ikut mencemooh. Mereka sudah tak kaget melihat Melissa diperlakukan begitu rupa oleh wali kelas mereka.

"Duduk sana!" perintah Bu Henny usai melepaskan telinga Melissa. "Sekali lagi kamu terlambat, Ibu kurung juga kamu di rumah Ibu!" ancam beliau dengan muka lelah.

Melissa cuma meringis lalu berjalan cepat ke belakang. Bangku yang ia tempati berada di barisan paling kiri, juga paling pojok belakang. Tepat di bawah jendela. Sinar matahari sering menyilaukannya hampir setiap pagi.

Namanya Melissa. Melissa Van Java. Oke, jangan tertawa. Ia sudah biasa ditertawakan gara-gara nama belakangnya. Masalahnya bukan karena nama panjang Melissa itu jelek atau aneh, tapi ia bukan keturunan Belanda. Melissa makhluk pribumi. Melissa asli Indonesia. Kedua orangtuanya berasal dari Jawa. Jadi ia turunan suku Jawa tulen. Orang biasa tertawa saat tahu nama belakangnya. Sok Belanda. Begitu kata mereka.

Jika orang-orang bertanya soal nama belakang Melissa dari mana, jawabannya adalah dari ayahnya. Ayah Melissa senang bercerita tentang jaman Belanda.

"Bayangkan. Negeri tercinta kita dijajah mereka tiga setengah abad lamanya. Kamu bisa lihat? Rel kereta, stasiun, gedung-gedung kuno di tengah kota, semua itu peninggalan jaman jajahan Belanda."

Itu kata-kata sang ayah yang paling diingat Melissa. Lalu jika ia bertanya, "Memang itu bisa dibanggakan, Yah? Meskipun itu peninggalan Belanda, bukannya yang jadi pekerjanya orang Indonesia? Kerja rodi pula."

Kemudian dengan gaya sok bijaksananya Ayah menjawab, "Benar. Memang orang-orang pendahulu kita yang jadi pekerjanya. Tapi kamu tidak coba bayangkan, Sa? Kalau tidak ada orang Belanda waktu itu, mungkin saat ini kita tak akan melihat rel kereta dan gedung-gedung kuno tua semegah itu. Orang pribumi kita dulu belum tentu punya inisiatif membangun hal-hal canggih seperti mereka."

Melissa ternganga. Bukankah itu bisa disebut peremehan otak bangsa sendiri namanya?

"Di saat penduduk pribumi punya rumah gubuk bambu, para penjajah membangun gedung batu-bata. Di saat penduduk sibuk bertani dan berladang, Belanda membangun sekolah-sekolah pendidikan. Rakyat kita dulu punya tenaga, tapi para penjajah lebih mahir menggunakan otaknya."

Akhirnya Melissa memilih bungkam mendengar deklarasi ayahnya. Ia tidak mengerti jalan pikiran sang ayah ke mana. Ia sampai jadi berpikir jika ayahnya lebih mengagumi otak para penjajah dibanding iba dengan penderitaan rakyat mereka. Jika Melissa sudah kehabisan akal, maka ayahnya akan bilang, "Beruntung kita hidup sekarang. Jaman sudah merdeka. Rakyat bebas ingin hidup seperti apa. Tinggal kita hargai dan doakan saja para pahlawan yang telah berkorban besar demi kebebasan kita."

Sudah. Seperti itu saja. Nikmat sekali kedengarannya.

"Nah, karena di daerah rumah kita tak ada peninggalan jaman Belanda, makanya Ayah pernah bertekad. Jika Ayah punya anak nanti, akan Ayah beri nama yang berbau-bau Belanda. Kamu Melissa, Ayah sengaja memberimu nama Van Java. Itu impian Ayah sejak muda. Terdengar gagah bukan? Melissa Van Java. Semoga otakmu juga brilian. Yah, asal jangan untuk menjajah orang juga."

Melissa cuma mengangguk. Dalam hati ia berkata beruntungnya Van Java, bukan Van Helshing. Tentunya ia tak mau disangkut pautkan dengan pemburu vampir di sepanjang kehidupannya. Setelah ia pikir-pikir lagi namanya cukup keren.

Hebatnya, ada hal aneh lain terkait nama sok Belanda Melissa. Yaitu wajahnya. Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa kedua orangtua Melissa ialah Jawa tulen, tapi muka Melissa tidak seperti orang Jawa kebanyakan.

Kulitnya putih langsat. Wajahnya oval-sempit panjang. Tulang hidungnya lumayan tinggi, berdiri kokoh ke depan. Bola mata Melissa bulat berwarna hitam pekat. Rambutnya hitam kecoklatan. Melissa seperti anak Asia blasteran Eropa. Begitu kata para tetangga.

Ayahnya selalu bilang Melissa keturunan impiannya. Saking mengaguminya peninggalan sejarah jaman penjajahan Belanda, maka Tuhan memberikan anugerah kepada sang ayah. Diberikanlah seorang anak yang nantinya akan cocok membawa nama berbau Belanda. Banyak orang bilang tidak masuk akal memang. Namun itu benar-benar sebuah kejadian.

Ibu Melissa pernah bilang, sang ayah sering mengelus-elus perutnya saat mengandung Melissa. Ayah juga sering berkata, "Anak pertamaku akan kuberi nama Van Java. Aku yakin kau lahir seperti anak Belanda."

Tak ayal, semua orang terkejut saat Melissa terlahir ke dunia. Sampai-sampai dulu ada yang bilang Ibu Melissa berselingkuh dengan orang luar negeri. Namun mata Melissa benar-benar seperti mata ayahnya. Bulat, hitam pekat. Jadi tak diragukan lagi ia anak siapa.

Ayah sangat menyayangi Melissa. Ia bilang Melissa bukanlah produk gagal dari ibunya. Walaupun aneh dan bahkan terkesan lucu, bagaimanapun Melissa berterimakasih kepada ayahnya. Ia berjanji akan selalu menjadi kebanggaannya. Ia berjanji akan menjadi Van Java yang hebat seperti harapan kedua orangtuanya. Selain itu Melissa juga berjanji, ia akan melawan setan konyol yang selama ini membuat dirinya bertingkah tak seperti manusia pada umumnya.

***




Oke, ini cerita somplak tapi tetap manusiawi. Dibuat di wattpad pertengahan tahun 2015 dan tamat awal 2016. Dipublikasikan lagi setelah revisi per-Mei 2020. Moga lebih layak dan enak dibaca. Silakan yang mau baca lagi, yang dulu belum ngasih dukungan kali ini boleh dong tekan bintangnya. Wkwk

Check short trailer cast-nya! 😆

Francesc Indah

Panic Girl Van Java (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang