1

2.4K 143 14
                                    

Dengan berat kulangkahkan kakiku, membawa tumpukan-tumpukan kertas pekerjaanku ini ke neraka.

Ini hanyalah sebuah ruangan penuh mesin kerja: faks, fotokopi, pemotong kertas... tapi bagiku, ruang sempit dengan AC untuk mendinginkan mesin-mesin itu adalah neraka.

Kamu ada di sana, dengan segelas kopi di tanganmu. Dan kamu berdiri sambil menunggui kertas-kertas faks itu tersedot ke dalam mesin. Kamu peka terhadap hadirku, dan alismu terangkat kaget. Kamu memberiku senyuman kecil, kemudian kembali sibuk dengan faksmu.

Aku menaruh tumpukan kertas itu di atas meja. Sial seribu sial, mesin fotokopi itu harus berada persis di sebelah mesin faks. Aku bisa merasakan getaran yang kau kirimkan ketika aku berdiri di sisimu. Kecanggungan dan atmosfer risih yang kita bagi berdua.

Lucu mengingat dahulu kita adalah dua orang yang saling mengucap cinta dan kasih, selalu ingin menghabiskan waktu berdua dalam kebersamaan, bahkan kita bisa ada di ruang sial ini bersama ribuan rim kertas, yang penting kita hanya berdua. Kini kita berdua hanya dua orang dengan kubikel berdekatan yang bicara seperlunya.

"Pak Karsa yang suruh?"

Bahuku menegang mendengar suara serakmu menyapaku. Canggung, aku mengangguk mengiyakan perkataanmu.

"Lumayan banyak yang harus dikopi. Karena ini harus gue simpan, Pak Karsa harus pegang satu, dan divisi lain juga harus pegang."

Kamu mengangguk seperlunya. Kemudian, kamu kembali sibuk dengan mesin faksmu dan gelas kopimu.

Kamu tak perlu tahu, kalau lidah ini banyak menyimpan ribuan bahkan jutaan kata yang ingin kuucapkan karena sesaknya hati yang ingin meledak ini. Merasakan sesekali kulitmu bersentuhan dengan kulitku, membuat kata-kata dalam tenggorokanku semakin ingin meledak dalam jeritan-jeritan frustasi.

"Aku... udah selesai." Kamu bergerak canggung. Mengangkat gelas kopi itu dari meja, kemudian menaruhnya lagi. Kamu terhenyak malu, kemudian kembali mengangkatnya lagi dan menunduk. "Aku... aku duluan."

"Ah, iya." Aku mengangguk sopan.

"Iya. Aku duluan." Pengulangan kikuk itu adalah kata-kata terakhir yang kudengar darimu sebelum kamu mengangkut gelas itu dan pergi meninggalkanku sendirian di dalam ruangan sumpek yang terasa membakarku.

Milyaran emosi menggumpal dalam hatiku. Entah ada berapa macam emosi di dunia ini, tapi kini rasanya mereka mencakar-cakar dinding hatiku dan menyiksaku.

Aku tak sadar tetesan-tetesan air menitik di atas kertas. Aku menutup mulutku dan menangis dalam kesunyian, dan menahan perih yang menggumpal dalam hatiku. Ribuan kata ingin kuucap, banyak rasa dan asa yang ingin kulempar ke wajahmu. Tapi inilah diriku kini, inilah aku yang harus terus menahan semuanya.

Kau seharusnya tak perlu pergi. Sejak awal kau tak perlu pergi. Kenapa kau harus pergi?

***

Awalnya kita berdua hanya dua orang yang saling akrab di kafe lantai satu gedung pencakar langit ini. Kita berdua hanya teman sekantor yang kubikelnya berdekatan tanpa pernah saling bicara. Tapi hari di mana seluruh bangku penuh itu mempertemukan kita.

Aku masih ingat kamu dengan lengan kemeja yang tergulung, mendatangiku dan meminta ijin untuk duduk di sampingmu. Obolan demi obrolan mengalir, kita akhirnya saling mengenal dan kamu berhasil membuatku tertawa.

Bila hidup ini adalah sebuah orbit dan akulah planet yang mengelilingi matahari, maka kini kamulah planet yang menyinggung orbitku. Fun fact, sebenarnya orbit Pluto menyenggol orbit Neptunus, hingga akhirnya dia disingkirkan dari list planet oleh para peneliti. Dan kamulah Pluto dalam kehidupanku. Kini kamu masuk dalam orbitku.

Masuklah kamu ke dalam orbitku, dan perlahan kita saling mendekat. Jika kita sungguhan planet, kitalah planet pertama di alam semesta yang berevolusi beriringan, bersama dalam satu orbit. Siul-siulan dan celetukan iseng mulai menggoda kebersamaan kita di lantai itu, dan jadilah kita pasangan yang serasi.

Yang kini kita alami bukanlah kita yang dulu. Kita berdua bukan lagi dua planet yang beriringan dan berputar dengan detak jantung yang seirama. Kita kini hanya dua orang yang berjarak dekat dan jengah dengan jarak itu. Seakan ingin berteriak dalam himpitan kotak kecil, 'TOLONG, TOLONG! SIAPAPUN PINDAHKAN KAMI!'.

Banyak kata yang tak terucap dari mulutku.

Tapi kutelan bulat-bulat.

Karena kini kau terus berbalik menjauh.

***

A/n: dalam rangka sekelas dengan sang mantan, gue membuat cerita ini xD but dont worry about me. Gue baik-baik aja kok. Iya. Gue baik-baik aja :)

Sangat baik :) :)

Dont forget to vote and comment! Dont be a silent reader like my ex shut me out :') #Lol

Unspeakable [6/6]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang