4

672 80 3
                                    

"Kalau menurut saya, untuk meningkatkan kinerja para karyawan di kantor ini, kita harus menyediakan fasilitas kerja yang baik untuk mereka, karena..."

Bila kini suara batinku menggema dalam kepalaku, berarti kamu kini adalah pria yang terus bergerak dengan mulut komat-kamit seperti layaknya dalam film. Suara batinku menggema di kepalaku, melihat sosokmu yang mempresentasikan pendapatmu pada bos.

Sejak dulu aku dan kamu tahu, bahwa kamu potensial. Kamu juga pernah berkata padamu "I'll be my bosses pet." Kamu bilang kamu akan jadi peliharaan bos yang mengangguk-angguk, patuh, dan jadi robot yang terus mencetak uang bagi bosmu.

Tapi bagiku, kamulah pemimpin masa depan. Dengan kinerja yang seperti ini, kamu bisa menjadi bos atau bahkan punya perusahaan sendiri.

Kamu masih sama mengagumkannya seperti dulu, kamu tahu?

"Oke, rapat kita akhiri sampai di sini!"

Orang-orang di meja ini pun bubar. Kamu membawa papan-papan presentasi yang kamu ciptakan sendiri dengan teliti dan penuh kecermatan. Kemeja lengan panjangmu tergulung hingga siku dan kamu menghela napas penuh kelegaan.

Dari kejauhan aku melihatmu tersenyum pada orang-orang yang memujimu. Teman-teman priamu berseru hiperbolis, mengacak-acak rambutmu, memukuli bahumu, dan berseru-seru soal traktiran. Beberapa teman-teman wanitamu berkumpul dan menyalamimu. Kerumunan itupun berubah tenang ketika bos kita, datang dan memberimu tepukan di bahu.

Nampaknya kamu sanga t sukses dengan presentasimu kali ini. Sebentuk senyuman keluar dari bibirku, tanda aku sangat bangga padamu.

Aku berjalan keluar dari ruangan, menuju kubikelku. Kemudian aku mengerjakan pekerjaan-pekerjaanku yang tertunda karena rapat barusan sambil memikirkan betapa enaknya bila rapat tadi ada konsumsi dari kantor seperti biasanya.

"Haaah..."

Aku mendengar suara desahan lelah dan frustasi dengan telinga kiriku. Sekali lirik, aku mengetahui bahwa suara itu berasal dari kamu, yang barusan presentasinya sukses dan mendapat tepukan di bahu dari bos kita yang terkenal pelit pujian itu.

Tenggorokanku terasa serak, melihatmu menutup wajah dengan kedua tangan, menghadap komputer dengan segala kelemahan dan ketakutanmu. Aku ingin bertanya 'ada apa?', tapi rasanya ada sesuatu yang berat dalam hatiku.

"A... ada apa?"

Kamu membuka telapak tanganmu dan melirikku dengan lesu. Kemudian kamu melengos dan mendesis, "gak apa-apa. Ini bukan urusan lo."

Tahukah bagaimana rasanya ketika Anna terkena sihir Elsa tepat di jantungnya? Setelah bertahun-tahun ia percaya kalau "kakakku tak pernah melukaiku" (meski nyatanya dulu sihir Elsa pernah mengenai kepala Anna)? Seperti inilah rasanya. Bertahun-tahun aku percaya kalau kamu tak akan melukaiku (karena kita bahkan putus secara baik-baik), dan kini perkataanmu telah menusukku.

Aku seharusnya bangun dan sadar. Sejak kapan urusanmu adalah urusanku bila kita sudah putus? Mungkin memang seperti ini cara kerja kehidupan: kadang sebuah perkataan jadi sangat menyakitkan bukan karena perkataan itu kejam, tapi karena kita belum siap mendengarkan kenyataan dan bangun dari mimpi panjang kita.

Kata-katamu menyadarkanku dari mimpi panjangku, dan menyadarkan aku kalau kini urusanmu bukan urusanku. Kini kata yang tak terucap itu hanya sebuah kesia-siaan, dan kita sudah berakhir.

Ada banyak kata yang tak terucap di dunia ini. Banyak orang pergi dan membawa kata-kata itu dalam tenggorokan mereka. Tak ada cerita yang berubah, tak ada apapun yang berubah, karena mereka tak pernah menyampaikan kata-kata itu. Tapi apa yang terjadi bila kata-kata itu terucap dan tetap tak ada yang berubah?

Sebaiknya memang ini tetap jadi kata yang tak terucap.

"Oh, hahaha," tawaku pahit. "Oke, aku ngerti. Memang sebaiknya aku gak ngurusin hal yang bukan urusanku."

Kamu melirikku sekilas, kemudian mengangguk pelan. "Ya. Sebaiknya gitu. Gue bisa urusin ini sendiri."

"Hahaha, oke."

Dan kita pun kembali sibuk dengan komputer masing-masing, dengan pikiran kita masing-masing. Tidak ada lagi keterbukaan seperti dulu, tidak ada lagi saling berbagi keluh kesah seperti dulu. Kita hanyalah kita yang dulu pernah bersama, dan kini mengurusi urusan kita masing-masing tanpa saling bersinggungan.

Drrrtt

Ponselku bergetar. Aku melihat layar ponselku yang menampilkan alarm dan menghela napas. Dengan semangat yang entah pergi ke mana, aku mengeluarkan tiga botol obat dari tasku dan meminum semuanya sekaligus. Tak lupa juga aku meraih kalender di mejaku, dan melingkari tanggal 20—minggu depan.

Chemo.

Unspeakable [6/6]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang