5

643 88 8
                                    

Orang yang dulu pernah ada bersamamu, apa rasanya bila kini dia bersama orang lain?

Undangan itu kini ada di kubikelku. Ada di atas meja di dekat keyboard komputer, dan warnanya krem dengan inisial namamu dan nama wanita yang tak kukenal sama sekali.

Kamu ada di arah jam 2 dari tempatku berdiri. Cukup jauh dan hampir ada di tengah ruangan. Beberapa orang memberimu selamat, memelukmu, dan mengacak-acak rambutmu. Wajahmu terlihat cerah, dan kamu membalas ucapan selamat mereka dengan ramah.

Dan kini, kata-kataku yang tak terucap itu benar-benar sungguh tak berguna untuk diucapkan. Untuk apa memintamu kembali kalau kamu akan pergi dengan perempuan lain?

Entahlah, aku tak tahu apa kalian sudah berhubungan sejak kita berdua masih bersama. Apakah aku tetap berhak marah bila ternyata dia selingkuhanmu, ataukah aku harus diam dan sadar kalau memang kau patut bosan dengan orang sepertiku.

Kamu berjalan ke arahku. Akupun duduk dan kembali menyelesaikan pekerjaanku. Undanganmu masih ada di atas meja.

"Tanggal 20, kok undangannya baru dikasih sekarang? H-3 padahal..." celetukku.

Kamu terkekeh. "Soalnya baru bawa ke kantor hari ini. Yang di luar kantor udah dapet dari seminggu yang lalu."

"Hoo, gitu toh."

Dan kita berdua pun bekerja sendiri-sendiri dalam keheningan. Yang ada hanya bunyi-bunyi ketikan dan suara-suara bising dari karyawan-karyawan lainnya. Entah apa yang kamu pikirkan, tapi aku memikirkan kamu dan pernikahan itu.

"Mama yang ngenalin gue sama Widya."

"Hah?" Aku kaget dengan ucapanmu yang tiba-tiba.

"Mama. Kita kenalan setelah gue putus dari lo. 4 hari setelahnya. Kebetulan Widya anak dari sahabat Mama. Dia baik."

"Oh, gitu. Hahaha."

"Iya. Dia baik. Gak ada salahnya nikah sama orang baik."

"Iya, bener. Yang penting nyaman, hahaha."

Dan kembali, keheningan itu datang di antara kita berdua.

Jadi kini jawabannya adalah, perempuan bernama Widya itu bukan selingkuhanmu. Kamu tak pernah berselingkuh. Dia adalah anak dari sahabat mamamu, yang kau pikir baik-baik saja menikah dengan orang yang baru kau kenal beberapa minggu.

Kini segala macam kenyataan menghantamku seperti meteor. Dan aku sadar itulah bedanya aku dengan Bumi: Bumi punya lapisan atmosfer untuk menggesek meteor, sementara aku tak punya pertahanan apapun untuk mengurangi hantaman kenyataan berkecepatan tinggi yang menghujam jantungku. Rasa sakit itu jatuh bebas memukulku telak.

Apa salahnya menikah dengan orang baik.

Bila kriteriamu hanya 'orang baik', berarti aku adalah penjahat kelas kakap pemakan daging manusia bagimu.

***

Pernikahan itu berlangsung dengan lancar. Ballroom ini penuh dengan tamu dan makanan-makanan mewah tersebar di segala penjuru ruangan. Beberapa pelayan juga berjalan membawa nampan berisi minuman dan snack yang bisa kau ambil kapan saja. Sebuah chandelier besar dengan lampu kuning di pusat ruangan memancarkan sinar kekuningan ke seluruh ruangan. Aku bisa membayangkan betapa besarnya biaya yang kau keluarkan untuk pesta ini.

Kamu ada di sana, dengan perempuan itu. Tuksedo hitam dan gaun putih, membuat kalian berdua nampak sangat serasi. Kalian tak duduk di panggung, tapi kalian berkeliling sebentar untuk bercengkrama dengan beberapa tamu. Aku selalu ingat kau bukan orang yang suka duduk terlalu lama.

"Oke para hadirin, sekarang kami akan menyanyikan lagu yang sangat romantis, buat pasangan baru kita yang berbahagia ini. Come to the dancefloor, ask the girls, and dance with us! Ini dia, dansa perdana kedua pengantin baru kita!"

Take my hand

Take a breath

Pull me close

And take one step

Aku bisa melihatmu di antara cowok-cowok yang dengan malu mengajak cewek-cewek cantik yang baru mereka kenal untuk berdansa. Kamu mengenggam tangan Widya dengan erat dan berdansa dengan ritme yang lembut bersamanya.

Widya sepertinya orang yang sangat lembut. Dia pengertian dan sabar, juga baik hati. Dia bukan pemaksa sepertiku, dan dia bukan orang ambisius sepertiku. Mungkin kamu butuh orang seperti itu untuk mengerti dirimu.

Ya, sebaiknya memang aku melepaskanmu yang ingin berbahagia. Dan biarlah kata ini menjadi kata yang tak terucap. Karena semuanya sudah terlambat untuk diucapkan.

Tiba-tiba saja kepalaku terasa sangat-sangat berat. Rasanya seperti aku diinjak dan ditekan oleh gajah dan seluruh pandanganku menggelap. Sulit bagiku untuk mengembalikan keseimbanganku. Sekejap, tubuhku terasa sangat ringan seperti bulu. Aku juga merasakan cairan hangat mengalir dari hidungku.

Bruk.

"Eh, Reya jatoh! Reya jatoh!"

"Randy! Reya jatoh! Idungnya berdarah!"

"Panggil ambulans, panggil ambulans!"

Suara-suara itulah yang terakhir kudengar dari sekitarku. Itupun hanya berwujud bisikan-bisikan ramai yang harus kupaksa untuk didengar baru terasa jelas. Kini aku merasakan sensasi berdenyut di kepalaku hingga aku tak bisa lagi merasakan apapun di tubuhku.

Ada banyak kata yang tak terucapkan di dunia ini. Ketika kau tak punya keberanian untuk meneriakkan keinginan hatimu, maka kata-kata itu hanya menjadi huruf-huruf tanpa arti yang terus berdiam dalam hatimu... bahkan bisa kau bawa sampai kau mati.


Unspeakable [6/6]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang