3

780 86 2
                                    

Apa rasanya ketika semua kisah telah berakhir, tapi dia masih ada di sisimu seakan semua baik-baik saja?

Inilah rasanya.

Aku harus fokus pada pekerjaanku, selama 10 jam ke depan, tanpa memerdulikan sudut mataku yang terus menangkapnya yang sedang mengetik atau menyesap kopi-banyak-mau miliknya itu. Picingan matanya saat meneliti dokumen, kelincahan jari-jemarinya, dengusan napasnya... seperti semua belum berakhir.

Dia belum berubah, aku belum berubah, tapi kisah kami sudah berubah.

Kami bukan lagi dua orang yang hidup bersama, saling berbagi cerita, atau merencanakan masa depan konyol ala negeri dongeng.

Kapan aku bisa sadar kalau umurku 24 tahun dan bukan anak SMA cengeng yang rentan galau ditinggal kekasihnya? Mudah bagi kalian, dan bagi diriku sendiri, untuk berteori tentang kekuatan dan usia. Tapi galau menyerang setiap lapisan usia. Dan mungkin aku belum terlalu dewasa untuk memasang wajah tegar.

Ada satu jalan mengakhiri frustasi dan overthinking ini: bicara. Katakan padanya kalau aku masih berharap segalanya kembali seperti semula. Katakan padanya kalau aku masih mencintainya dan tak mau meninggalkan semuanya begitu saja dan berbalik menyerah.

Jangan bodoh. Aku tidak mau terdengar konyol di hadapannya.

Dibalik pengetahuanku bahwa kata-kataku hanya akan jadi sebuah kebodohan yang memalukan, aku ingin mengucapkannya. Aku ingin melontarkannya dan membuatnya mendengar isi hatiku. Aku ingin kita berdua percaya kalau kita bisa sama-sama meruntuhkan ego kita dan memperbaiki semuanya.

Aku melirik ke kubikel sebelah. Rupanya dia tak ada di sana sejak tadi. Mungkin saja dia sedang membuat kopi lagi atau menyerahkan dokumen. Ah, aku butuh menjernihkan pikiran. Jadi kutinggalkan kubikelku dan aku berjalan meniti tangga darurat menuju atap gedung.

Cklek.

"Ah, elo..."

Ternyata dia ada di atas loteng.

Lengan kemejanya digulung, kancing pertamanya dibuka, dan rambut lurus tebalnya agak berantakan. Dia menjepit sebuah rokok di antara jarinya. Sejak kapan ia merokok?

Tubuhku menengang. Aku tetap berdiri di depan pintu darurat tanpa menghampirinya yang berdiri di pinggir atap dan memandangi deretan raksasa beton di depan kami. Mobil-mobil seukuran semut lalu-lalang di bawah kami, dan ia titikkan debu-debu rokok itu ke arah mereka.

Aku berjalan dengan ragu ke arahnya dan berdiri dengan jarak satu depa (serentangan tangan) darinya. Kucoba berdiri serileks mungkin, tanpa memerhatikan dirinya yang meniupkan asap-asap dari mulutnya. Kalau kami masih bersama, akan kutepis batang racun itu dari jemarinya.

"Sekarang ngerokok?"

Dia melirikku, dan tersenyum pahit. "Ah, kerjaan bikin stres." Matanya tak menatapku, tapi menatap ke arah gedung-gedung yang membentang di sekeliling kami. Cahaya di matanya nampak redup, tapi dia memaksakan senyum pahit itu di mulutnya, yang kuduga sepahit hisapan rokok di tangannya.

"Emang sejak kapan rokok bisa ngilangin stres?" tanyaku sinikal.

"Sejak... gue coba. Entahlah." Dia mengangkat bahu dengan cuek, kemudian menitikkan debu-debu itu ke bawah entah keberapa kalinya.

Aku ingin berteriak "cukup!" dan membentaknya panjang lebar soal bahaya merokok. Aku ingin menepis rokok itu dan berkata "kamu tuh ya!". Aku ingin mengambilnya dari tangannya dan membuangnya ke bawah, kemudian menatapnya tajam dan berkata "aku gak suka lihat kamu kayak gitu"

Tapi siapa aku?

Hanya ada bunyi desahan angin di telinga kami. Anak-anak rambutku menggelitik pipi, sambil aku melihat mobil yang lalu-lalang di bawah sana. Tak ada suara di antara kita, dan aku masih menahan kata dalam batang tenggorokanku. Tak boleh terucap, karena ini tak perlu terucap.

"Banyak pikiran?"

Aku tersentak.

Kamu kini menatapku. Pandanganmu datar, lempeng, dan tak menunjukkan ekspresi yang mencolok. Seperti bukan dirimu yang dulu kukenal.

Aku dengan bingungnya menggeleng, "bukan." Sesingkat itulah yang bisa kujawab padamu.

Kamu mengangguk acuh dan menyandarkan sikumu pada tepian, dan menatap jalanan dengan pandangan lurus. Rambutmu nampak berantakan, dan kamu bukan lagi pria bercahaya yang pernah kucinta. Kamu nampak seperti orang yang hancur.

"Banyak pikiran?"

Dia menatapku yang kini balas bertanya padanya. Jawaban yang diberikannya hanya anggukan acuh. Dia kemudian membuang rokoknya ke bawah dan berjalan menuju pintu.

"Gue duluan."

Dan pintu pun tertutup. Sosoknya tak kulihat lagi.

Dan aku baru saja sadar, dia tak lagi memakai kata 'aku' dan 'kamu'.

Unspeakable [6/6]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang