2

1K 99 6
                                    

Niatku hari ini adalah mengambil air di pantry. Badanku terasa sangat lelah mengetik dan menyusun laporan pekerjaan bulanan yang harus jadi hari ini juga. Tapi bukannya mendapat kesegaran tenggorokan, yang kutemukan adalah kamu.

Ada kamu yang sedang agak merunduk mengambil air panas untuk menyeduh kopi. Dalam hitungan detik kamu menyadari kehadiranku. Tubuhmu seperti tak siap. Tapi kamu memberiku cengiran ramah dan kembali sibuk menyeduh kopi.

"Laporannya banyak, ya?"

Blubub, blubub, bunyi air galon meletup-letup menyaingi suaramu.

"Apa?"

"Aku bilang, laporannya banyak?"

"Ah," aku terkekeh. "Lumayan banyak. Tapi kalau dikejar sampai tengah malam, jadi."

Kamu mengangguk seperlunya, sambil sendok di tanganmu menari-nari menyulap air jernih jadi kecoklatan. "Bagus." Itu jawaban yang sangat singkat.

Kita berdua terdiam di dalam ruangan itu cukup lama. Aku menunggu di belakangmu yang terus menambahkan air sedang dan air panas dalam ukuran yang kamu inginkan, sementara aku hanya butuh segelas air.

Dengan jelas aku bisa melihat figurmu. Kamu masih sama seperti kemarin, kemarin, dan kemarin lagi. Kamu masih lelaki tegap dengan kemeja polos berwarna netral dan rambut yang agak tebal. Dari belakang, kamu tetap kamu.

Dada ini sesak. Ingin meneriakkan apa yang seharusnya kukatakan, bahwa kau tak seharusnya pergi. Mengatakan cinta yang masih tersangkut di ujung lidah dan kembali tertelan karena takut yang melingkupi.

"Eh, mau ambil air?" Kalimatmu seperti menggantung di akhir. Kamu berdiri dengan kikuk dan menyingkir, membiarkan aku mengambil air. "Maaf, aku banyak maunya kalau bikin kopi."

Aku selalu tahu itu. Aku selalu ingat kamu yang banyak mau dengan kopimu, suhu yang sesuai dan sudah kau hapalkan dengan perasa di tanganmu. Aku selalu tahu bisa ada antrian 10 meter ketika kau membuat kopi di depan dispenser pantry. Tapi dalam hatiku, aku menikmati detik-detik di mana aku bisa menatap sosokmu dari belakang: satu-satunya yang tak berubah darimu.

"Aku, bawa, ini, kopi, ke... aku balik dulu." Dan kamu pergi tanpa menunggu balas dariku.

Melihat kepergianmu hanya membuat hatiku ngilu. Ketika kau ucapkan kata-kata itu sebulan yang lalu pun, rasanya seperti sengatan listrik yang menyakitkan.

Aku tahu kita berdua punya tempramen yang buruk. Aku benci kamu karena kamu sering menggampangkan banyak hal, dan kamu benci aku karena aku begitu cerewet dan penuh tekanan. Dari segala lovey-dovey dan manisnya kebersamaan kita, ada banyak teriakan penuh emosi yang terselip.

Mungkin orang yang terlalu santai dan terlalu tepat janji bukan pasangan yang cocok.

Tapi itu hanya mungkin. Aku ingin kau tahu bahwa aku bisa berubah, dan aku tahu masih ada sisa ruang untuk kesempatan kedua. Kita semua punya kesempatan untuk menurunkan ego. Kita bukanlah novel yang dibaca dua kali dan punya ending yang sama. Kita, manusia, punya sifat yang bisa diubah dan hati yang bisa direndahkan.

Inti dari semuanya, adalah... aku masih mencintaimu.

Terdengar egoiskah?

Ada milyaran kata yang tak sanggup kuucapkan dan hanya dapat kurangkai di dalam batinku. Aku takut kau akan menolak kata-kata ini. Mungkin aku hanya takut mendengar fakta bahwa tak ada kesempatan kedua.

Tapi itulah kata yang ingin kuucapkan padamu, kau yang dulu pernah bersamaku.

Aku berjalan kembali ke kubikelku sambil membawa segelas air putih dingin. Tumpukan pekerjaan masih menunggu untuk dikerjakan sampai larut. Dan kamu ada di kubikelmu, sibuk mengetik dengan komputermu.

Kamu masih sama seperti yang dulu: ada sebentuk jalur rambut tipis di pipi, dagu, dan di atas bibirmu. Rambutmu masih sangat tebal dan begitu lurus terawat. Kamu masih kamu yang dulu selalu menyapaku di pagi hari dengan senyuman.

Aku ingin mengatakan: kita tak ada perbedaan sama sekali. Kita tetap kita. Masih ada jalan untuk kembali. Aku rela merendahkan hatiku jadi lebih stabil dan tak menekan, karena itu tanda bahwa aku mencintai dan menghormatimu.

Aku ingin bilang bahwa hubungan ini tidaklah rusak. Kita berdua hanya terlalu lelah dengan segala emosi yang memuncak bagai roller coaster, kemudian menjatuhkan mental dan fisik kita hingga lelah dan lemas secara drastis.

Tapi yang bisa kulakukan hanya duduk di kubikelku, mengerjakan ketikanku hingga kamu pulang tanpa berpamitan.

Kamu bahkan tak menasihatiku untuk tidak lagi lembur.

Karena lembur itu gak baik buat kamu. Kamu butuh banyak istirahat, Sayang...

Unspeakable [6/6]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang