4. Turn Around

440 19 0
                                        

"Iya, iya. Sabar." gue menuruni tangga dengan menenteng sepasang sneakers.

Dibawah, Nyokap duduk dengan seorang cowok yang nggak lain adalah Evan. Dia samasekali nggak kelihatan peduli waktu gue datang. Harusnya, tadi gue lama-lamain aja di Kamar.

"Kok kamu pake sneakers?" komentar Nyokap saat pertama kali gue muncul di ruang tengah.

"Emang mau pake apa lagi Ma? Biasanya aku juga pake sepatu ini."

"Seenggaknya kamu pakai flatshoes gitu," Nyokap bersandar di sofanya.

"Aku kan nggak punya Ma, yang Mama beliin kemarin itu kekecilan." gue mendengus. "Udah ya, aku pergi dulu. Dadah."

Gue melambaikan tangan ke Nyokap, memberikan isyarat pada Evan untuk segera keluar, dan menuju mobil sambil nyeker. Sialnya, Evan nggak mau bukain kuncinya sebelum dia sampai di pintu mobil. Jadilah gue lompat-lompat gara-gara kepanasan.

Setelah dia masuk dan pintu terbuka, buru-buru gue masuk. "Sumpah, lo kebangetan banget."

"Siapa suruh nyeker," Evan mulai menyalakan starter Mobil.

Gue memakai sepatu dengan emosi. "Kan lo yang minta buru-buru, jadinya gue pakenya di Mobil."

Evan berdeham. "Yang dari tadi manggilin lo siapa? Yang minta buru-buru ke Mobil juga siapa?"

Gue mendengus sebal, "Yang mau-maunya ngajak gue jalan siapa?"

Bukannya menjawab, Evan malah menginjak gasnya semakin kencang.

"Jujur ya, dari awal gue ketemu lo aja, bawaannya gondok tau nggak. Sebenarnya lo tuh siapa sih?" kata gue.

"Yang gue tau sih, nyokap lo sama nyokap gue temenan." jawabnya sengak.

"Gue juga tau itu. Emang gue bego," gue membetulkan posisi duduk. "Tapi lo kenapa diem aja waktu tau kita dijodohin?"

Seluruh tubuh gue tiba-tiba tak terkendali, tas yang gue bawa sampai jatuh kebawah dashboard. Kepala gue pusing terpentok langit-langit mobil, karena belum sempat pakai seatbelt. Evan melewati polisi tidur dengan kecepatan 60km/jam. Sinting.

"Lo bawa orang, bukan arwah yang kalo kepentok bakal nembus." gue mengusap-usap kepala yang isinya seperti terbelah.

Dia menatap gue sambil melambatkan mobilnya. "Dita, gue minta tolong banget ya sama lo, nggak usah lagi protes atau nanya-nanya siapa gue, kenapa kita dijodohin dan sebagainya. Karena gue juga sama-sama nggak menginginkan ini. Jelas?"

Untuk pertama kalinya, gue mencengo di depan Evan, kali ini wajahnya serius. Seperti baru saja mengeluarkan kemarahannya yang tak bisa diungkapkan selama satu abad.

Gue mengangguk. "Iya. Tapi kalo lo nggak mau, kenapa lo diem aja?"

Dari gelagatnya, Evan terlihat kikuk. Dia seperti berusaha mengumpulkan kalimat yang tepat untuk dilontarkan.

"Jujur, gue nggak seharusnya ngomong gini sama lo. Tapi gue mau lo ngerti, setahun terakhir ini gue selalu di kenalin sama cewek-cewek yang terkadang juga kayak lo, nggak gue kenal.

"Gue selalu berusaha kabur, gue menolak buat dijodohin. Tapi itu nggak bikin bo-nyok gue berhenti, gue terus-terusan dicariin cewek. Sampe akhirnya gue dijodohin sama lo, gue udah capek dan nggak peduli lagi.

"Gue juga pengin nolak perjodohan ini, tapi bukan dengan cara yang udah pernah gue lakuin. Jadi tolong Dit, gue mau nyelesain ini dengan baik-baik, lo juga bakal lebih milih cara itu kan? Kalo iya, kita juga harus baik-baik."

The AuthorWhere stories live. Discover now