Pemandangan menyeramkan saat gue terbangun adalah, seseorang dengan jaket abu-abu dan celana selutut duduk di sofa kuning yang terletak disamping pintu Kamar. Dia menunduk, fokus pada benda berbentuk persegi panjang ditangannya.
Gue sahabatan sama Nabil sejak jaman baheula, tapi dia nggak pernah tiba-tiba muncul di Kamar gue. Bahkan terkadang, masuk Kamar gue aja mikir dua kali. Mata gue masih berkunang-kunang untuk memastikan siapa orang itu.
"Evan?" gue mengedip-ngedipkan mata sekali lagi.
"Udah bangun lo?" cowok itu memutar sofanya.
Gue mendengus, "Udah jelas-jelas gue ngomong. Emang gue gila, suka ngomong sendiri?"
"Bisa aja lo ngelindur,"
"Ngelindurin nama lo? Hih, amit-amit." gue bangkit dan bersandar pada sisi kasur. "Lo ngapain sih, disini? Ganggu aja."
"Udah gede juga, masih aja tidur siang," Cowok itu mendengus, "Ngapain lagi kalo bukan disuruh Nyokap lo."
"Daripada lo, udah gede masih main NDS." Gue beranjak menuju Toilet. "Gue udah bangun, Jadi lo bisa bebas sekarang. Sana, keluar."
Evan membuka pintu sambil menggerutu, "Gue udah berharap dari tadi,"
Gue samasekali nggak mau menanggapi ucapannya itu. Udah seminggu ini perut gue nggak bisa di kompromi, bersamaan dengan datang bulan. Jadi, gue harus mengirit-irit tenaga.
Sebuah suara yang cukup kencang dari luar Rumah membuat gue bergegas turun seusai mandi. Dengan handuk yang masih melilit di kepala, gue keluar dan menemukan Evan disana dengan seseorang.
Yang menjadi perhatian pertama gue adalah pintu gerbang Rumah gue yang penyok. Sebetulnya itu nggak terlalu menonjol, tapi entah mengapa gue bisa melihatnya dengan jeli.
"Sori banget Crut, gue nggak sengaja." Seseorang yang ternyata Nabil itu muncul dari balik tubuh Evan.
Hal pertama yang gue lakukkan saat tahu itu Nabil, adalah tertawa. Pertama, Karena wajah paniknya itu terlihat aneh. Nggak enak banget deh dilihat. Yang kedua, lucu aja akhirnya Evan Dan Nabil ketemu. Tanpa gue.
"Maafin temen gue ya, dia emang suka tiba-tiba nggak waras." kalimat Nabil itu hampir membuat gue menimpuknya pakai pot.
Evan tersenyum miring, "Gue udah nebak kok kalo dia nggak waras."
"Sama aja kalian berdua, seneng banget bikin gue gondok." Kata gue sambil menunjukkan ekspresi sebal. "Tapi, btw kalian udah saling kenal?"
Keduanya menggeleng.
Gue menepuk bahu Evan. "Ini Nabil. Bil, ini Evan."
"Hai Van." Sapa Nabil sok deket.
Evan tertawa, "Oh, jadi ini pacar lo?"
"Pacar? Lo bilang kalo gue pacar lo ke dia?" Nabil mengerutkan alisnya.
"Idih, bisa perang dunia ketiga kalo gue pacaran sama dia." Gue menyilangkan dua tangan didada. "Udah gue bilang, dia temen gue. Rumah kita sebelahan. Jangan bikin gue murka mulu deh."
"Serah lu." Ucap Evan ketus.
Gue menggerlingkan Mata, mengabaikan ucapan Evan. "Udah Bil, gerbanganya nggak papa. Makanya lo jangan kebiasaan disetirin."
"Nyindir?" Nabil melirik gue. "Kalo gitu gue pulang dulu ya. Mobil gue ngalangin jalan. Bye, selamat berdua." cowok itu mengedipkan satu matanya ke gue. Geli.
Setiap tiga langkah, Evan menoleh kearah mobil merah yang tak kunjung terparkir itu. "Kepo lo sama dia?" Ucapanku itu, membuyarkan pengelihatannya.
YOU ARE READING
The Author
Ficção Adolescente"Gue terjebak didalam mimpi buruk yang nggak akan pernah usai." - Anindita "Jika Matahari terbit dari Timur dan tenggelam di Barat, semua sudah ditentukan. Begitu juga aku, dan cintaku yang tenggelam bersama senja." - Nabil "Seburuk apapun masa lalu...