Sejak pagi gue berdo'a semoga hujan tidak mengguyur kawasan sekolah dan Rumah gue. Setidaknya untuk sore ini. Gedung Sekolah gue bukan berbentuk letter U seperti Sekolah-sekolah pada umumnya. Tapi Kelas-kelasnya berada didalam gedung yang banyak lorongnya, jadi beruntung jika hujan datang, gue nggak bisa melihatnya secara langsung dari jendela.
Karena setiap kali ada hal yang berhubungan dengan hujan, gue selalu ingat Bokap gue. Bahkan gue bisa membayangkan kejadiannya waktu itu dengan runut, walaupun gue nggak di tempat kejadian. Mimpi buruk itu bukan merasuki gue lewat mimpi, tapi ketika hujan mulai turun. Untunglah trauma yang gue rasa kan sekarang, jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Sedan hitam Evan yang masuk ke pelataran sekolah, segera membuyarkan lamunan gue. Cowok itu terlambat lima-belas menit, tapi gue maklumi karena setelah ini dia mengajak gue bersenang-senang.
Setelah gue masuk kedalam mobil, Evan menancapkan gas menuju pusat perbelanjaan yang berada tak jauh dari Sekolah. Dulunya, tempat itu menjadi salah satu pusat perbelanjaan elit yang sekarang sudah sepi pengunjung. Setidaknya begini lebih nyaman.
Gue mengikuti Evan yang masuk ke sebuah toko pakaian khusus pria. Disana berjajar berbagai macam jenis kemeja masa kini, yang rata-rata berwarna biru dan hitam. Beberapa celana panjang juga ditaruh dibagian paling depan dengan papan diskon yang berada diatasnya. Tapi Evan tak butuh celana, dia kesini untuk mencari atasan.
"Gue butuh baju buat acara ulang tahun temen. Dresscode-nya biru donker, lo bantuin cari yang cocok buat gue." tukas Evan. Walaupun gue cewek, untuk urusan baju-baju, gue nggak yakin selera gue bagus. Karena selama ini, gaya gue cuma itu-itu aja. Celana jeans dan kaos.
Menanggapin Evan, gue hanya menjawab apa adanya. "Yah, tapi jangan kecewa kalo selera gue jelek."
"Nggak heran kok." Evan menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu kami berpencar untuk memilih baju.
Lima belas menit kemudian, dia sudah memilih pakaiannya dan siap untuk membayar. Kemeja biru dongker lengan pendek, dengan saku kecil didebelah kiri dan motif polkadot putih kecil-kecil. Cocok untuk raut wajahnya yang dingin.
Seperti yang gue bilang, pilihan gue buruk dimata cowok itu. Lagipula itu semua kan cuma saran, dan asal tahu saja, sebetulnya gue nggak benar-benar memilihkan pakaian untuknya.
Kalau urusan janji, selama ini Evan selalu menepatinya. Dan benar saja, dia membawa gue ke toko pakaian remaja. Nuansanya lebih kasual dibanding toko dimana Evan baru saja membeli kemeja. Seperti biasa, gue langsung menghampiri pajangan kaos dengan tulisan-tulisan unik.
"Sekali-kali lo coba gaya lain deh." ucap Evan disela-sela gue memilih.
"Kalo gitu, coba lo saranin ke gue." balas gue, melangkah pelan ke gantungan-gantungan yang lainnya.
Tak berapa lama, dia menunjukkan kardigan garis-garis sepaha, berwarna putih-jingga. "Menurut gue, ini cocok buat lo."
Gue nggak tahu kalau ternyata Evan jago dalam hal memilih pakaian. Tapi bukan berarti dia lekong atau ingin menjadi penata gaya. Hanya saja, dia biasa berbaur dengan orang yang penampilannya baik. Sedangkan gue, Nabil dan Trio Ncut tidak bisa menjadi patokan untuk urusan baju-baju. Mengingat gaya mereka yang seperti anak ilang.
"Ya, bolehlah." gue mengambil hanger ditangannya, lalu mencocokkannya dibadan. "Gue ambil ini."
Detik berikutnya, kami sudah sampai di Kasir dan antrian yang lumayan panjang. Evan pergi sebentar sementara gue mengecek beberapa pesan handphone yang baterainya sudah sekarat.
Tepat saat antrian terakhir berada di gue, Evan datang membawa pakaian biru donker yang sepertinya gaun pendek. Gue nggak bisa melihatnya dengan jelas karena baju itu tergulung ditangannya.

YOU ARE READING
The Author
Teen Fiction"Gue terjebak didalam mimpi buruk yang nggak akan pernah usai." - Anindita "Jika Matahari terbit dari Timur dan tenggelam di Barat, semua sudah ditentukan. Begitu juga aku, dan cintaku yang tenggelam bersama senja." - Nabil "Seburuk apapun masa lalu...