All children, except one, grow up.
Bagi gue, pengecualian itu adalah gue. Gue yang seharusnya bisa selalu menikmati masa kanak-kanak selamanya. Tidak ada yang perlu dipikirkan, gue pertanggungjawabkan dan gue tidak akan memiliki masalah yang harus diselesaikan sendiri.
Mungkin terburuknya, orang-orang dewasa tidak mau membagikan rahasianya. Tapi realitanya, sampai saat ini mereka masih merahasiakannya. Jadi nggak ada bedanya menjadi dewasa dan anak-anak.
Beberapa hari lalu, gue berhasil mendapatkan buku karangan M.J. Barrie ini di toko buku bekas. Memang banyak toko buku bekas disekitar Rumah gue. Penjualnya bilang, ini adalah cetakan asli, jadi dia memberikan harga yang lumayan tinggi. Gue tidak bisa menolak, karena cetakan aslinya memang sudah sering diperbaharui sampulnya.
Kalau gue memiliki museum rekor sendiri, untuk segala hal yang gue telah pecahkan, mungkin membaca buku Peter-pan adalah yang tercepat. Belum pernah gue membaca buku 17 Bab dalam satu malam. Dan gue membacanya berulang-ulang hingga hari ini.
Gue baru sadar kalau perkataan Nabil itu benar, tentang membaca akan membunuh waktu, dalam artian positif. Ya, malam setelah pesta ulang-tahun Darin, gue bisa meyakinkan Evan bahwa gue sedang ingin sendiri dan baik-baik saja. Sebetulnya, Cowok itu hanya khawatir kalau Nyokap bakal melakukkan sesuatu yang nggak masuk akal ke gue. Sempat ada perdebatan dengan Nyokap memang, tapi untuk kali ini gue pemenangnya.
Gue sedang membalikkan halaman pertama, ketika pintu tiba-tiba terbuka. Nyokap sudah berdiri didepan pintu dengan tatapan tajamnya. Yang bisa gue lakukkan hanyalah mendesah dan menghampirinya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Mama tunggu kamu di bawah." Suaranya menggema ketika dia kembali melewati tangga. Sekarang atau nanti sama saja, mengulur waktu malah membuat gue semakin dekat dengan mimpi buruk.
Nyokap duduk di sofa yang biasa Evan tiduri, sedangkan gue duduk diseberangnya, menunggu kalimat selanjutnya.
"Udah seminggu kamu nggak bareng sama Evan." suaranya serak. Berbeda dengan yang terakhir kali gue dengar, mungkin dua hari lalu. "Mau sampe kapan?"
Pertanyaan itu terasa sangat bodoh buat gue. "Berasa aku bakal lupa ingatan kalau nggak ketemu dia."
"Buat kamu, itu bisa aja terjadi Dita. Kamu kan punya daftar alasan diotak kamu." Nyokap mengubah posisinya.
Gue tahu satu-satunya alasan Nyokap kenapa sangat menginginkan Evan selalu bersama gue. Penyebabnya sudah tersingkirkan, jadi seharusnya Nyokap nggak perlu khawatir.
"Kupikir Mama bakal senang, setelah hubungan aku sama Nabil rusak dan Evan bakal nggak ada lagi di hidup aku. Mama udah ngambil semua kebahagiaan aku termasuk Papa. Kukira Mama udah puas." untungnya leher gue baru tercekat di kata terahkir.
"Kamu nuduh Mama?" Wanita itu menegakkan duduknya, tegang. "Kalau kamu bilang Mama mengambil semua kebahagiaan kamu, ngapain juga Mama repot-repot nanyain hubungan kamu sama Evan. Itu kan buat kebahagiaan kamu."
Pada dasarnya, gue nggak ingin mengungkit soal pertunangan gue dan Evan. Setelah tahu alasannya, gue memutuskan untuk menyelesaikannya dengan bijak. Dan jujur saja, tidak ada lagi yang bisa gue andalkan selain Evan, setelah Bokap pergi dan gue meninggalkan Nabil begitu saja. Tetapi bagaimanapun, topik itu pasti selalu hangat diantara gue dan Nyokap.
"Perjanjiannya kan jelas, aku bakal sendiri selama yang aku mau. Dan aku nggak egois, lari gitu aja dari Evan." semoga ucapan gue itu bisa menampar Nyokap. "Karena udah nggak ada lagi yang tersisa buatku."

YOU ARE READING
The Author
Fiksi Remaja"Gue terjebak didalam mimpi buruk yang nggak akan pernah usai." - Anindita "Jika Matahari terbit dari Timur dan tenggelam di Barat, semua sudah ditentukan. Begitu juga aku, dan cintaku yang tenggelam bersama senja." - Nabil "Seburuk apapun masa lalu...