"Aaaaaaaaak!"
Suara debuman keras mengiringi teriakan aduhai di ujung jalan. Ridho yang sedang berjalan menuju rumahnya itu segera menolehkan kepalanya. Mimiknya berubah, antara ngeri dan juga panik.
"Astaghfirullah!" pekik Ridho berlari ke arah sumber suara berasal.
"Hiks... huaaaaa!" Tiba-tiba saja gadis kecil dengan jepit bunga di rambutnya itu menangis histeris.
"Eh... kok nangis? Cup, cup. Jangan nangis, ya?" bujuk Ridho berusaha menghapus air mata yang meleleh di pipi gembul gadis kecil itu.
"Sakit, Om. Sakit...."
Ridho melebarkan matanya syok. Apakah ia sudah setua itu sehingga dipanggil om?
"Mana yang sakit coba? Biar Kakak lihat," jawab Ridho, mengabaikan panggilan om yang masih terdengar menggelikan di telinganya.
"Ini, Om...," tunjuk gadis kecil itu pada kedua lututnya dan juka sikunya.
Ridho mendesah pasrah saat gadis manis ini lagi-lagi memanggilnya om. Baiklah, sepertinya ia memang sudah memasuki usia tua. Untung saja tidak dipanggil kakek.
"Wah... lumayan banyak juga, ya?" kata Ridho pelan meneliti satu per satu luka gadis kecil berambut panjang itu.
"Parah ya, Om? Kaki sama tangan Tita bakal di amputasi, ya?" tanya gadis kecil yang bernama Tita itu.
Ridho mendengus pelan setelah mendengar komentar dari gadis kecil nan unyu ini.
Sepertinya ia sudah menjadi salah satu korban sinetron, batin Ridho prihatin dengan isi otak anak-anak kecil yang belum pantas mengetahui hal-hal yang seperti ini.
Ridho menampilkan senyum kalemnya, lalu mengusap rambut Tita lembut. "Tentu tidak. Tapi... itu kalau Tita tidak mau mengobati lukanya," beritahu Ridho lembut.
"Tita mau kok, Om!"
Ridho mengacungkan jempolnya. "Good girl!"
Kemudian Ridho berdiri bersiap membantu Tita kembali ke rumahnya. Tapi... bagaimana caranya ia membawa sepeda gadis kecil itu?
"Tita... bagaimana kalau sepeda ini dititipkan ke rumah Kakak lalu baru ke rumahmu?" tanya Ridho masih berusaha menyebutnya 'kakak'.
"Om orang baik, kan?"
Ridho menggaruk rambutnya, mulai stres. Ia jadi punya keinginan untuk menjadi seorang presiden atau kalau tidak menjadi salah satu anggota KPI sehingga ia bisa memilah mana saja yang boleh dan yang tidak boleh ditayangkan, serta mengatur jam tayang dengan baik. Ah... itu hanya pemikiran pendeknya saja.
"Kalau Kakak orang jahat, seharusnya Kakak sudah ada di rumah dan sudah tertidur, Sayang," beritahu Ridho lebih menyabarkan diri.
"Baiklah. Tita ikut sama Om!"
"Ok! Ayo naik ke punggung Kakak!"
Gadis mungil itu merangkak ke punggung Ridho, lalu mereka segera menuju ke rumah minimalis yang ada di ujung jalan itu. Walau pria itu lelah, ia tak bisa mengabaikan gadis mungil ini tersesat dan terluka sendirian.
"Usiamu berapa, Tita?"
"Sepuluh tahun, Om!"
Ridho mengangguk saja. Masih terlalu kecil, memang.
"Apakah Om seorang model? Wajah Om sangat tampan dan memesona," tanya Tita, kembali lagi menjadi sosok gadis yang sudah dewasa.
"Tidak. Kakak hanya seorang pegawai biasa," jawab Ridho memilih berbohong.
Tita mengangguk sok paham. Lalu kepalanya menoleh ke arah belakang.
"Kak Dedew!" teriak Tita keras, kala matanya menangkap sosok gadis dengan kerudung hitamnya.
Ridho menghentikan langkahnya. Ia memilih berbalik untuk melihat seseorang yang dipanggil oleh gadis kecil ini. Siapa tahu seseorang itu salah satu keluarganya atau paling tidak tetangga yang lumayan dekat dengan keluarga gadis mungil ini.
"Tita! Kakak sudah mencarimu ke mana-mana," ujar seseorang dengan suara lembutnya.
Tunggu... ia seperti kenal dengan suara ini. Jangan-jangan....
"Dewi?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyuman Palsu
General FictionRidho Aryan, pria dua puluh enam tahun yang masih saja belum bisa melupakan sosok Dewi Nurmala. Gadis yang dikenalnya tiga tahun silam. Gadis yang telah mengubah pandangannya tentang hidup. Lalu, datanglah seorang gadis bernama Risa Atalea. Gadis du...