Delapan

214 19 1
                                    

Gadis berambut ikal panjang itu duduk di balkon kamarnya. Seleranya untuk memasak sudah lenyap tergantikan perih yang menyusup secara tiba-tiba. Kilatan masa lalunya bersama seseorang berputar terus menerus di kepala, seolah menyalahkannya.

Ya, memang di sini akulah yang jahat, ujarnya dalam hati.

Seandainya ia tidak ragu-ragu, tentu masa lalu itu menjadi keindahan hingga nanti. Kebahagiaan yang selalu dinantinya sejak dulu. Lalu sekarang bisa apa? Hati yang pecah tidak bisa disusun seperti sedia kala, pasti ada cacat yang membayang.

Secercah bening itu meluncur di pipinya. Tangan kanannya menyusur ke dada, merasakan sesak yang datang begitu tiba-tiba. Ini salahnya, berulang kali pikiran itu bersuara di sana. Tapi hati tetaplah hati, ia tidak bisa dipaksa untuk menghapus nama yang terlanjur terukir.

"Ridho...." Untuk pertama kalinya ia menyebut nama pria itu.

Ia bodoh? Ya, tentu sangat bodoh. Seharusnya ia tidak kabur ketika lelaki itu sudah mempersiapkan segalanya untuk pernikahan mereka. Seharusnya gadis itu bercerita bagaimana isi hatinya. Apa pun itu, semua sudah terjadi, dan kini ia yang harus menerima semua akibat. Dewi sadar telah menyakiti lelaki baik itu terlalu dalam.

***

"Halo, Assalamu'alaikum," sapa Ridho ketika ponselnya berdering.

"Wa'alaikumsalam, Mas." Suara lembut itu menjawab.

"Ada apa, Nad?"

"Ehm, Mas, besok bisa makan malam bareng? Kebetulan dari sekolahan butuh bantuan Mas Ridho. Ehm ... soal percetakan—duh sabar sebentar, Ris." tanya Nada diselipi nada kesal yang mencurigakan yang mau tak mau membuat Ridho tersenyum geli.

"Sekolahan atau Risa?" jawab Ridho setengah menggoda.

Terdengar tawa keras dari seberang sana. "Ehem, sekolahan ... juga Risa."

Lelaki itu akhirnya tertawa sambil menggaruk keningnya. "Ok. Ba'da isya, ya? Ajak Wafa sekalian."

"Kak Wafa memang ikut kok, Mas. Dia yang punya ide soal ini."

"Ide tentang sekolahan?"

"Tentang Mas dan Risa," jujur Nada kalem.

Sekali lagi Ridho tertawa mendengar kepolosan Nada. Lelaki itu yakin, gadis yang menguping di samping Nada sudah seperti cacing kepanasan mengingat sifat dan sikapnya sejak pertama bertemu.

"Baiklah, kamu yang milih tempat, ya? Aku langsung datang saja gitu."

"Ok, Mas. Wassalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Ridho meletakkan ponselnya kembali ke meja sambil menggelengkan kepala pelan. Entahlah, apa yang sedang direncanakan pasangan pengantin baru itu. Ya, mungkin benar, jika kita mengembalikan hati pada Allah, tentu Ia akan membalasnya tak terduga.

"Ngapain lo ketawa-ketiwi gitu?" Khikam masuk ke ruangan sambil membawa makan siang mereka berikut dengan sample buku yang sudah siap.

Lelaki dengan kaus berkerah garis-garis itu menyandarkan tubuhnya pada kursi. "Entahlah ini yang dinamakan musibah atau berkah. Cinta sepihak gue malah merencakan perjodohan untuk gue," beritahu Ridho masih menyisakan geli.

"Nada? Jodohin lo? Sama siapa?" Khikam melebarkan matanya kaget.

"Sama rekan kerjanya. Gue sudah pernah ketemu sih, cuma ya gitu, gue geli saja. Mana orangnya juga ajaib lagi. Ekspresif banget!"

Khikam memicing curiga. Ia bisa mencium bau amis secara tiba-tiba. "Lo sampai ngerti dia kelakuannya yang ajaib dan ekspresif? Ini bukan Ridho sekali sepertinya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 09, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senyuman PalsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang