Tujuh

132 10 0
                                    

"Ok, ok! Pokoknya setelah ini saya kirim contohnya ke Bapak." Khikam terlihat sibuk dengan ponselnya saat keluar dari mobil. Ia baru saja memarkirkan Jazz hitamnya di depan rumah Ridho.

"Iya, Pak. Anda tenang saja, saya pastikan barangnya terkirim hari ini. Ok?" Pria mempesona itu mendesah lega kala lawan bicaranya meyudahi telepon mereka. Saat hendak membuka pagar rumah Ridho, siluet seseorang menganggunya. Sosok itu sedang asyik bercengkrama di ujung jalan bersama salah seorang anak kecil yang sedang mengayuh sepeda.

"O-oh ... Dewi?" Matanya melotot setelah mengenali sosok itu. "Woah!" Ia mengusap wajahnya kasar, tidak percaya dengan penglihatannya yang masih akurat.

"Nggak mungkin kan dia pindah di perumahan ini?" Khikam masih bermonolog dengan wajah syoknya. "Aku harus bertanya pada Ridho!"

Lelaki cekatan itu segera melesat ke rumah berlantai dua bernuansa minimalis tersebut. Perasaan Khikam semakin was-was saat matanya menangkap sosok Ridho yang sedang bersandar menatap kolam ikan belakang rumah. Bahkan sejak mereka berteman, baru kali ini ia melihat Ridho benar-benar seperti tidak bernyawa. Atau jangan-jangan....

"Dho!"

Ridho segera mengontrol diri dan menyambut sahabatnya, Khikam. "Sudah jam berapa ini? Lo itu ya, dibilang jangan suka telat kalau sudah janjian sama orang," sambutnya penuh dengan omelan.

Lawan bicara Ridho hanya menyipitkan mata sambil menganggukkan kepala sok paham. "Iya, gue memang terlalu lalai untuk masalah kerjaan. Tapi,"

Pria bermata sedikit sipit itu memberikan fokus penuh pada Khikam, seolah menunggu sahabatnya berbicara.

"E-ehm ... Dho, e-ehm ... gue tad—"

"Dia baru sebulan pindahan dari Makassar," potong Ridho cepat, paham apa yang akan dikatakan Khikam.

"Lo sudah tahu?"

Ridho mengangguk, lalu menghela napas keras. "Gue pikir, dunia ini sempit banget, ya? Ada ratusan perumahan di Semarang, mengapa dia memilih perumahan ini untuk kembali?"

Khikam mengangkat bahunya. "Dan ... apa dia sudah berkeluarga, Dho? E-ehm ... maksud gue, dia sudah nikah?"

Lelaki itu hanya melirik temannya sebentar, lalu menampilkan wajah pahit tak acuhnya. "Apa pun itu, gue juga nggak peduli lagi, Kham," jawabnya sambil berlalu setelah menepuk beberapa kali lengan Khikam.

***

Sekali lagi Ridho duduk di kursi sembari menumpangkan kakinya di kaki yang lain. Matanya mengawasi dengan detail para pegawai yang sibuk siang ini. Di ujung ruangan, Khikam dengan kemeja kotak-kotak sebagai pemanis kaus oblong putihnya hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. Sudah sedari pagi Ridho di sana, mengomentari segala hal bahkan yang terkecil sekali pun. Dan ia sudah berkali-kali mengingatkan jika ini bukanlah wewenangnya. Bagian produksi adalah bagian Khikam. Tapi apalah daya Khikam jika sang pemegang saham terbesar tetap bersikukuh pada pendirian? Ia hanya bisa menatap para pegawainya dengan tatapan iba.

"Yang kuat, ya!" ujarnya tanpa suara pada salah satu pegawai yang kebetulan menatapnya dengan pandangan sedih.

"Itu, itu! Itu ada yang ketebalan tulisannya. Duh! Alat percetakan ini kemarin diservice ngga, sih?" Untuk kesekian kalinya Ridho mengomel pada para pegawai.

"Sudah diservice, Pak!" ujar Ujang sambil menunduk takut.

"Ulang lagi!"

Khikam menghembuskan napas pelan, meredakan emosinya yang ikut naik melihat Ridho yang semakin menjadi-jadi. Dengan penuh tekad Khikam mendekati Ridho. Ditepuknya lengan sang sahabat pelan.

Senyuman PalsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang