P e m a k a m a n , I n g g r i s...
Semua yang duka telah meninggalkan tempat peristirahatan-nya. Tidak, tidak semua. Karena masih ada satu gadis yang setia berdiri di tempat pemakamannya. Berpakaian serba hitam dengan salah satu tangan yang menggenggam sebuket bunga mawar dan tangan lainnya yang menggenggam payung hitam. Payung hitam. Payung yang seharusnya digunakan untuk menutupi tubuhnya dari sinar matahari, kini telah berpindah alih fungsi. Semua karena cuaca di sini gelap, dan hanya aroma petrichor yang mulai terasa di indra penciumannya.
Sudah hampir satu jam ia masih dalam posisi yang sama. Menatapi batu nisan dengan perasaan hampa, membiarkan angin semilir mengacak rambutnya pelan. Ia sangat merasa kehilangan, kehilangan orang yang sangat dicintainya. Kehilangan orang yang sangat berharga bagi dirinya. Ingin rasanya menangis sekeras-kerasnya, bagai petir yang menggema di alam semesta ini. Tetapi apa boleh buat, ia tak bisa menangisinya lagi, karena air matanya telah kering. Tertahan oleh semua kenangan.
Aldian Langerhans.
Gadis itu tersenyum miris. Nama itu adalah nama seseorang yang sangat ia cintai.
"Nona Alin. Mari kita pulang. Tuan dan Nyonya besar sudah menunggu di rumah."
Alin menengok sekilas saat terdengar suara berat dari belakangnya tanpa mengukir senyum di bibir manisnya. "Tolong, biarkan aku sendiri. Aku bisa pulang dengan taksi."
"Tapi Nona, hari sudah sangat gelap."
"Kubilang, aku hanya ingin sendiri," bantah Alin dengan posisi yang tidak berubah. Masih tetap sama dengan mata yang memandangi nisan-nya.
Lontaran kalimat ketus Alin yang terakhir membuat seseorang yang berdiri di belakangnya pergi. Kali ini, Alin memang hanya ingin sendiri. Dan... yang dikatakan seseorang tadi benar, hari semakin gelap dan angin semakin kencang yang menambah suasana semakin dingin.
Aku percaya kamu akan datang Al. Aku mencintaimu selalu. Alin berjongkok, menaruh sebuket bunga mawar dan mengusap batu nisannya. Tersenyum lemah. Hanya itu ekspresi yang bisa ia tunjukkan.
Alin kembali berdiri. Meninggalkan tempat pemakaman, menyisakan sebuket bunga mawar yang ditinggalinya tadi tepat di depan batu nisannya.
###
Sehari sebelumnya....
"Sayang? Apa kamu sibuk?"
Alin yang sedang mengurus berkas-berkas di meja kerjanya mendongakkan kepalanya. "Sejak kapan kamu ada di ruang kerjaku?"
Pria itu menghempaskan dirinya di sofa yang memang tersedia di ruang kerjanya Alin. "Itu tidak penting. Jawablah pertanyaanku."
"Oke-oke," kata Alin. "Uhmm, aku tidak terlalu sibuk. Memang ada apa?"
Aldi-pria itu menarik napasnya dalam-dalam. "Aku hanya ingin mengajakmu berkencan. Bagaimana?"
Kata-kata yang dilontarkan Aldi membuat Alin mengukir senyum tipis di wajahnya. "Boleh saja, tetapi cuaca saat ini buruk. Hujan besar sewaktu-waktu bisa datang."
"Tenang saja. Kapan lagi bisa berkencan denganmu? Kamu saja terus-terusan mengurus perusahaanmu."
Alin terlihat berpikir sejenak. "Ya sudah."
"Bagaimana jika kita ketemuan di taman kota?" Mata Aldi memandang Alin yang sedang berjalan ke arahnya.
"Kau tidak menjemputku saja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hujan
Short StorySosok itu selalu muncul ketika hujan, menunggu kekasihnya hingga hujan berhenti. Walau nyatanya terlalu mustahil jika mereka akan saling bertemu. Sebab salah satunya tiada... atau justru keduanya telah tiada? Entahlah, aku tidak begitu mengerti. Co...