T u j u h

1.3K 101 2
                                    

Aku melangkahkan kakiku untuk menuju ke kamar. Membersihkan diri--berhubung tadi bermain hujan-hujanan.

Tidak ada sepuluh menit aku sudah bersiap dengan baju tidurku. Malas sekali rasanya kalau menggunakan baju santai, karena sebentar lagi hari mulai petang. Dan aku tidak mau memilih resiko untuk berganti baju lagi kalau misalnya tadi aku menggunakan baju santai.

Ku hempaskan diriku di sofa kamar, melepas lelah setelah peristiwa tadi. Sebenarnya, aku lebih ingin memilih untuk langsung tidur daripada mendongeng dengan Ziggy. Tapi berhubung itu penting--apalagi membahas masalah tentang Kak Alin, aku tidak mau melewatkannya.

Rambut, aku cepol asal agar tidak mengganggu. Begitu pula dengan poni yang aku pita agar tidak mengganggu pandanganku.

Tanpa melakukan aktivitas apa-apa lagi, aku mengambil langkah cepat untuk menuju ke dapur. Karena aku tahu kebiasaan Ziggy. Antara duduk santai di meja bar, atau menumpu dagu di meja makan. Oh, jangan lupakan minuman yang selalu menemaninya.

"Lama sekali, kamu."

Aku melempar tatapan sinis ke Ziggy. Sedetik berikutnya, aku menampakkan raut wajah terkejut. Tidak mengerti lagi--tubuhnya terbuat dari apa.

Sejak tadi, ia masih mengenakan baju yang sama--seragam sekolahnya yang tadi ia kenakan untuk bermain hujan. Tapi kali ini, bajunya sudah agak mengering, dan juga balutan baju handuk yang ia kenakan. Rambutnya pun, sangat lepek.

"Kamu tidak membersihkan diri?" tanyaku sambil menarik kursi meja bar.

Ia mengaduk secangkir kopi hitamnya. "Untuk apa?" ujarnya ketus tanpa mengalihkan pandangannya.

Aku menggeleng beberapa kali. Setelahnya, aku bangkit. Mengambil cangkir yang ada di rak gantung dapur. Mencium aroma kopi Ziggy, membuatku ingin membuat.

"Ehem." Aku berdehem. Mencoba mencairkan suasana. Ziggy pun sepertinya mengelah napas.

"Apa?"

Aku menoleh sekilas. Kemudian kembali menyibukkan diri mengaduk kopi yang tadi sudah kutambahkan gula. "Tadi, di taman...," aku mendekat ke arah Ziggy sambil membawa secangkir kopi yang sudah jadi, "Mau bilang apa? Soal Kak Alin?"

"Oh iya." Ziggy meneguk kopinya sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Kalau menurutku--Kak Alin mungkin begitu terpukul? Jadilah setiap hujan ia selalu datang ke tempat itu, tempat terakhir kalinya saat ia menunggu Kak Aldi. Tapi siapa disangka kalau Kak Aldi kecelakaan saat perjalanan ke taman itu."

Aku meneguk kopi. Sebelum Ziggy menjawab pertanyaanku tadi, aku sudah mendudukkan diriku di kursi meja bar.

Ya lupakan yang itu. Sangat tidak penting.

Aku berusaha mencerna apa yang di katakan oleh Ziggy. Kalau menurutku, setengah masuk akal, setengahnya tidak. Apakah seterpukul itu, sampai Kak Alin setiap hujan datang ke taman kota? Lantas untuk apa? Mengenang? Bahkan di taman kota saat ia menunggu, Kak Aldi sendiri belum menginjakkan kakinya di sana.

Atau ia datang ke taman kota untuk menunggu Kak Aldi yang bahkan sudah meninggal? Menurutku, itu sangat tidak masuk akal. Hanya sia-sia yang ia dapat. Lagipula, kuyakin kalau Kak Alin tidak sebodoh itu. Kalau ia bodoh, mengapa di usia mudanya ia bisa mempunyai perusahaan sendiri?

"Bagaimana munurutmu, Soph?"

Aku terkesiap. Lantas segera membuyarkan lamunanku. Terlalu berpikir keras hingga tidak sadar kalau masih ada kehidupan di depanku.

Terdengar, jahat.

"Tanya Nathan?" aku berbisik, sengaja--karena aku ragu-ragu. Dan entah mengapa tiba-tiba Nathan muncul di benakku.

Ketika HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang