Bab 8

145K 2.9K 49
                                        

Vada's POV


Suara kicauan burung dan sayup-sayup suara ombak membangunkanku dari tidurku. Dari balik kelopak mataku aku bisa mengetahui bahwa saat ini sudah mulai terang, matahari baru saja terbit. Aku menggeliat dan meregangkan tubuhku, meskipun tidak bisa meregang sempurna karena sepasang tangan yang memelukku erat di pinggang. Tunggu dulu, sepasang tangan?

Mataku terbuka lebar dan mendapati wajah Bagas Wendell tepat berada di depan wajahku. Ia terlihat sudah bangun sejak tadi dan sedang memerhatikan wajahku. Tubuhku mulai terjaga sepenuhnya, aku bisa merasakan bahwa tak ada sehelai benangpun yang menghalangi tubuhku dan tubuhnya. Bahkan aku bisa merasakan kejantanannya yang terasa keras menyentuh perutku. Pikiranku teringat akan kejadian semalam.

Tidak, tidak, tidak.

Tidak mungkin ini terjadi lagi.

Aku memejamkan mataku berharap ini semua hanyalah mimpi. Tetapi semakin keras aku mencoba melupakannya, semakin jelas ingatanku akan kejadian semalam, bagaimana aku menariknya dalam sebuah ciuman, menggodanya saat memberikan blow job, menahan pinggulnya saat klimaks..

Aku merasakan kasur bergerak dan berat tubuhnya berpindah. Aku membuka mataku, berharap ia pergi keluar sejenak agar aku bisa memikirkan bagaimana caranya aku keluar dari ruangan ini. Kurasakan suatu yang gelap membayangi dan ternyata kak Bagas sudah berada di atas tubuhku. Mataku membelalak.

Ia mencium bibirku. Sekali.

Aku masih terkejut.

Ia mencium bibirku lagi.

Aku masih belum bereaksi apa-apa.

Kemudian ia menatap ke dalam mataku. Satu detik. Dua detik. Mungkin berjam-jam, aku tidak tahu pasti. Dengan pelan ia menundukkan wajahnya sekali lagi dan mencium bibirku dengan lembut.

Kali ini ia tidak melepaskannya.

Bibirnya menyapu bibirku dengan ragu, mungkin karena aku masih terdiam tanpa reaksi. Aku benar-benar bingung, apakah aku harus mendorongnya menjauh? Atau kusambut saja ciumannya? Kali ini dengan sadar, aku memilih untuk membalas ciumannya. Ku angkat satu tanganku dan ku raih pipinya, menyentuh janggutnya yang sudah mulai tumbuh dan terasa kasar di telapak tanganku.

Aku tahu semalam aku menciumnya. Tetapi ciuman ini.. terasa seperti bagaimana ciuman pertama kami seharusnya terjadi. Pelan, lembut, dan mendebarkan dada. Kami seperti remaja yang baru merasakan ciuman pertama. Bibir kami masih mencari tahu dan merasakan sentuhan satu sama lain. Tanpa campur tangan lidah, tanpa nafsu. Hanya ciuman yang penuh dengan rasa keingintahuan yang polos.

Aku memejamkan mataku dan merasakan kelembutan bibirnya yang menyapu bibirku. Pikiranku hanya terpaku pada sentuhannya dan bagaimana ia terasa di bibirku. Aku semakin sulit untuk memikirkan konsekuensi dari perbuatan ini. Ciumannya membuatku tidak berdaya. Punggungku tanpa sadar melengkung, mendekat ke tubuhnya yang sama-sama telanjang.

Kemudian ia melepaskan ciumanku dan terdiam. Ia memandang mataku lama. Terlalu lama, hingga aku merasa canggung karenanya. Ku coba memanggil namanya dengan ragu.

"Kak Bagas.."

Ia tertegun. "Vada?" tanyanya lirih.

Kak Bagas pun tersenyum. "Vada."

Kemudian ia menciumku lagi, kali ini begitu dalam. Ciumannya memabukkanku dengan intensitas yang tinggi, yang membuang keraguanku akan kejadian ini. Pikiranku untuk menolaknya langsung pergi entah kemana. Tanganku berpindah dari pipinya yang kasar ke lehernya. Kali ini kedua tanganku merangkul pundaknya untuk mengunci posisinya. Aku benar-benar tak ingin ciuman ini berakhir.

Lututnya bergeser ke posisi di antara kedua kakiku dan membukanya. Ia memposisikan juniornya yang sudah menegang di atas vaginaku yang sudah basah. Kami berciuman sambil menggesek-gesekan kemaluan kami berdua. Gesekan tersebut membuat kita seolah-olah sedang berusaha menyulut api percintaan.

Kak Bagas kembali melepas ciuman kami. Tanpa melepas pandangannya dari mataku, ia memasukkan penisnya ke dalam vaginaku dengan pelan. Ketika tubuhku sudah terisi penuh oleh dirinya, ia terdiam. Aku juga masih tersihir dengan sensasi penuh kenikmatan ketika ia memasuki ku, menyentuh diriku di tempat-tempat yang aku tidak pernah rasakan sebelumnya. Sentuhannya terasa seperti surga.

Ia bergerak, pelan. Ia menarik penisnya hingga hanya tinggal kepalanya saja yang berada di dalam, kemudian mendorongnya lagi masuk dengan sangat pelan. Pelan dan menyiksaku. Pasalnya aku jadi bisa merasakan senti demi senti panjang kejantanannya yang bergesekan dengan dinding vaginaku. Aku mencengkeram lehernya dan mendesahkan namanya.

"Kak Bagas.."

Ia mulai memompa dirinya keluar masuk dari tubuhku tanpa terburu-buru. Ia melakukannya dalam tempo yang tenang dan romantis, dengan mata yang tak lepas-lepas menatap kedua mataku. Keningnya menyentuh keningku, mendekatkan jarak di antara kami berdua.

Ini bukanlah seperti percintaan yang semalam. Semalam pikiranku tak dikuasai diriku. Semalam dirinya hanya terbawa suasana yang diciptakan oleh penyakitku. Semalam kami berdua sama-sama melakukannya hanya untuk mencari pelepasan seksual semata.

Namun kali ini.. Aku melakukannya dengan sadar. Aku juga yakin ia melakukan ini pun dengan sadar. Ia memanggil namaku dengan lembut, tanpa embel-embel nona, ataupun nama belakang ayahku. Ia memanggil diriku, sebagaimana aku memanggil dirinya. Hanya kita berdua, di atas tempat tidur ini, bercinta. Sentuhannya tidak hanya membakar gairahku, tetapi juga menarik sesuatu di dalam hatiku. Caranya memandangku saat ini, seperti hanya akulah satu-satunya wanita di dunia ini. Akulah wanita yang diciptakan untuknya. Miliknya.

Gerakannya semakin cepat, meskipun tetap dalam tempo yang tenang. Aku pun membalas gerakannya, menyamai kecepatannya. Pinggulku mendorong maju saat ia memasukkan penisnya dalam. Aku merasakan kenikmatan yang mulai terbangun menjadi orgasme di dalam diriku, juga di dalam dirinya. Entah aku berimajinasi atau tidak, tetapi aku bisa merasakan miliknya semakin menegang dan mengeras di dalam diriku. Aku mencoba semakin menjepit dirinya.

Nafas kami berdua semakin memburu. Kini matanya terpejam, dan bibirnya mencium bibirku dengan sepenuh hati. Aku mempererat pelukanku dan membalas ciumannya. Gerakannya semakin cepat, tanda bahwa ia sudah dekat. Aku pun sudah tinggal sedikit lagi sampai.

Ketika orgasme itu tiba, gelombangnya melanda diriku terlebih dahulu baru kemudian dirinya. Tubuhku meledak-ledak, vaginaku menjepit penisnya dengan kencang. Cairan orgasmeku pun membanjir keluar. Kak Bagas juga menghunjamkan penisnya hingga ke mulut rahimku dan aku bisa merasakan semprotan maninya yang hangat mengalir memasuki rahimku. Aku sadar dengan apa yang terjadi, namun aku tidak peduli lagi. Cairan spermanya yang hangat membanjiri tubuhku, membuatku menggila. Orgasmeku bertahan lama hingga aku tak sadar bahwa tubuhku bergetar begitu hebat.

Ketika gelombang tersebut mereda, kak Bagas kembali jatuh di sampingku. Kali ini kami tidak tertidur. Tangan kami berdua mendekap satu sama lain. Kaki kami saling terbelit, kemaluan kami masih menyatu. Aku merasakan bibirnya menyentuh keningku, menciumku dengan lembut. Ku cium pundaknya sebagai balasan, sebagai bentuk terima kasih atas kenikmatan yang sudah ia bawakan kepadaku. Nafas kami berdua masih tersengal-sengal dalam satu irama.

Sesuatu yang hangat membanjiri tubuhku, kali ini bukan karena ejakulasinya, dan juga bukan terasa di dalam rahimku. Kehangatan ini berasal dari hatiku, membanjiri tubuhku, mengalir hingga ke ujung jariku.

Ya Tuhan, aku jatuh cinta dengan Bagaskara Edison Wendell.

Ovulation ComplexTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang