Bab 11

103K 3.1K 104
                                    

Vada's POV

Sudah beberapa hari ini aku dan kak Bagas bekerja dalam diam selama melakukan survey tapak lokasi Hotel Vanderbilt yang akan didesain. Kami berdua mengambil data awal sebagai dasar utama inisiasi desain, dan jika diperlukan kami akan mengirim pegawai magang untuk mengambil data tambahan. Syukurlah, karena aku tidak tahan lagi untuk menghabiskan satu hari lagi bekerja dengannya, dalam situasi yang tidak menyenangkan seperti ini.

Hari ini merupakan hari terakhir kami berada di Bali. Dihadapan tim Vanderbilt Corps dan para saingan kami, kami melakukan gencatan senjata dan bersikap ramah, walaupun terasa kaku dan dipaksakan. Rahangku terasa pegal menahan senyum palsu setelah berbagai pembicaraan sopan dengan perwakilan firma arsitektur lain, terlebih lagi terhadap sang Charles Vanderbilt sendiri yang barusan saja mengobrol denganku dengan antusiasme yang berlebihan. Namun bahkan tawanya yang keras tak menghalangi punggungku untuk bergidik merasakan pandangan kebencian dari arah Bagas Wendell.

Akhirnya salam perpisahan terakhir disampaikan. Kami berdua sudah check out dari hotel sejak tadi dan sekarang sedang menggeret koper ke area drop off untuk menunggu mobil sewaan kantor yang akan mengantar kami ke bandara.

Sambil berusaha mengabaikan aura kebencian yang ia pancarkan, aku mencoba menghubungi ibuku melalui pesan singkat. Selama kepergianku ke Bali ternyata keadaan ayah tidak kunjung membaik. Aku merasakan kekhawatiran tumbuh di pikiranku. Ayahku berusia 57 tahun. Meskipun beberapa orang masih terlihat prima dalam usia tersebut, ayah terlihat cukup lemah. Harus diakui, ayah tidak muda lagi. Aku menyadari tidak ada orang yang bisa hidup selamanya, namun berat membayangkan jika aku harus ditinggalkannya. Belum lagi ibu.

Ibuku sangat mencintai ayah. Mereka menikah setelah perjodohan singkat. Paska perkenalan, ibuku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, begitu katanya. Ayahku pun terpikat, meskipun perbedaan umur diantara mereka terpaut hampir 8 tahun. Ibuku sangat menggantungkan dirinya kepada ayahku, apalagi sejak kepergian kakekku, kemudian nenekku dari pihak ibu. Seperti aku, ibu merupakan anak tunggal. Jika ayahku berpulang, ibuku akan benar-benar hancur. Saudara-saudara ayahku semua perempuan, dan tidak bisa selalu dimintai pertolongan. Nenek dari pihak ayah, meskipun masih hidup, sudah berumur 84 tahun dan menderita dementia. Akulah satu-satunya harapan ibu, namun aku yakin aku tak akan bisa menggantikan posisi ayah.

Lamunanku yang panjang pun berakhir. Ternyata aku sudah berada di dalam pesawat yang sebentar lagi akan mendarat di Jakarta. Aku menegakkan posisi dudukku, membuat kak Bagas menoleh. Ia memperhatikanku secara seksama, kemudian mengencangkan sabuk pengamannya. Setelah pendaratan yang mulus, akhirnya terdengar suara pilot yang mengizinkan kami melepas sabuk pengaman dan meninggalkan pesawat.

Sambil menunggu bagasi datang, aku mengaktifkan ponselku yang tadi dimatikan saat memasuki pesawat. Aku mengerutkan dahi melihat terdapat 12 pesan singkat dari ibuku.

Vada, kenapa telepon ibu tidak diangkat?

Vada, ponsel kamu mati?

Ayahmu pingsan, ibu bawa ke rumah sakit

Kamu masih di pesawat ya?

Vada, ibu panik, ayahmu langsung dibawa ke ICU

Vada hubungi ibu segera setelah kamu mendarat

Kenapa sulit sekali sih menghubungimu?!

Dokternya lama sekali memeriksa keadaan ayahmu

Ovulation ComplexTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang