Greyson

424 50 4
                                    

Dua bulan kemudian...

Aku dan Hugo duduk dihamparan rumput luas didepan SU. Banyak mahasiswa yang melakukan hal serupa dengan kami, duduk atau tidur-tiduran. Hugo sedang sibuk memainkan game diponselnya, sedangkan aku terus-terusan menatap layar ponselku.

"Hey..."

Sejak pagi ku menunggu balasan pesan dari Incy. Akhir-akhir ini ia berubah, membuatku bingung dan bertanya-tanya ada apa dengannya?

Ia jarang sekali menelponku ataupun membalas pesanku. Telepon ku pun jarang dijawab olehnya.

Bosan hanya berdiam diri, aku akhirnya memutuskan pergi ke perpustakaan. Ku raih buku sejarah yang berada dideretan ketujuh lalu mengambil duduk didekat jendela.

Sial! Pikiranku tidak bisa fokus membaca. Berkali-kali ku lirik layar ponsel, berharap ia membalas pesanku. Ini bisa membuatku gila. Menutup buku, aku akhirnya memberanikan diri untuk menelponnya. Panggilan pertama tidak ada jawaban. Pantang menyerah, aku kembali menelponnya.

"Halo?"

Aku bernafas lega, "Incy, kau dari mana? Mengapa tidak membalas pesanku?"

Lama ia menjawab pertanyaanku, membuatku harus bersabar menunggu, "Maafkan aku, Grey. Aku sibuk,"

"Apa yang membuatmu sesibuk itu? Aku merindukanmu,"

"Aku juga merindukanmu," nada suaranya mengecil diujung kalimat, "Greyson, kita lanjut lagi nanti ok? Aku harus pergi,"

"Kau mau ke—" telepon terputus. Kesal akan sikapnya, aku akhirnya keluar dari perpustakaan.

Malam harinya, aku mengurung diri dikamar. Tidak berniat untuk menghabiskan waktu diluar mengingat ini malam minggu dan Hugo pun pergi keluar karena ia harus mengisi acara di pub.

"Kau yakin tidak ingin ikut? Gerald dan Jessie ingin kau datang,"

Menghempaskan tubuh ke tempat tidur, aku diam sejenak sebelum menjawab ajakannya, "Aku sedang tidak mood," Hugo menatapku heran, "Kau ada masalah?" Aku mengangguk kecil, "Ada apa?"

"Incy. Ia agak aneh akhir-akhir ini,"

"Aneh bagaimana?"

"Tidak biasanya ia bersikap seperti ini, lama membalas pesanku dan jarang mengangkat teleponku,"

"Mungkin ia sedang sibuk?"

"Yeah, ku harap begitu. Sebenarnya, aku hanya takut ia berpaling pada laki-laki lain,"

"Dude, berpikir positif lah. Kenapa kau tidak menemuinya saja?"

"Visa untuk pergi kesana mahal,"

"Memangnya dari negara mana gadismu itu?" tanya Hugo sambil memasukan beberapa barangnya kedalam tas.

Aku terduduk sambil memandangi aktivitasnya, "Ia berasal dari negara yang sama denganmu. Perancis,"

"Wow, benarkah? Dari kota mana?"

Menjilat bibir bawahku, aku menatap Hugo yang sedang menunggu jawabanku, "Ia tinggal di Orvault, apa kau tahu?"

Hugo bergumam kecil, "Ya, aku tahu. Jaraknya tidak jauh dari kotaku. Apa kau ingin menemuinya?"

Aku memikirkan kembali kata-kata Hugo barusan. Haruskah aku menemuinya? Mungkin akan jauh lebih baik jika aku bertanya langsung apa yang membuat sikapnya berubah seperti ini.

"Kau pasti sedang memikirkan visanya? Tenang aku bisa mengurusnya," ujarnya dengan senyuman lebar.

"Kau bercanda?"

"Aku serius. Kebetulan lusa aku berencana pulang untuk membicarakan masalah pertunangan itu,"

Aku tersenyum lebar dan menyetujui ajakannya. Akhirnya, selama dua tahun aku menahan diri untuk menemui Incy. Aku harus memberitahukan kabar gembira ini padanya.

"Tebak, siapa yang akan terbang ke Perancis,"

Setelah mengirimkan pesan itu, aku bergegas mengganti bajuku. Ku urungkan niatku yang ingin menyendiri dikamar. Aku tidak mau Jessie mengejekku seperti anak perawan yang dikurung Ibunya dirumah.

Di perjalanan, aku tak banyak bicara. Melainkan menunggu balasan dari Incy.

"Kau?!"

Aku menyengir lebar membaca responnya.

"Kau benar! Aku akan menemuimu segera jadi tolong kirimkan alamat lengkapmu,"

Setibanya kami di pub, Jessie dan Gerald langsung menyambut. Aku dan Hugo berlalu kearah bartender untuk meminta segelas bir.

"Tolong, dua gelas bir dengan tambahan dua buah es batu," pintaku pada sang bartender. Bartender ini menatapku dan Hugo dengan ekspresi aneh, "Maaf, anak berusia dibawah delapan belas tahun dilarang minum,"

Demi Whiskey.....

Hugo terbahak mendengar penjelasan sang bartender, ia kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan tanda pengenal dari dalam dompetnya, "Kami sudah dua puluh tahun. Bisakah kau memberikan pesanan kami?"

Sang bartender menjawab dengan canggung, "Oh maafkan aku. Ini pesananmu,"

Aku merengut kesal karena kejadian tadi. Sering kali ku alami hal seperti ini, dianggap seperti anak kecil.

"Santai, bung. Kita sudah sering dianggap masih bocah," Hugo menyeringai kecil.

"Itu menyebalkan. Memangnya bagaimana wajah kita dihadapan mereka?"

"Awet muda," ujarnya santai. Aku tertawa kecil.

"Hey, anak kembar! Disini kalian rupanya," Tydi menepuk pundak ku dan Hugo, "Hugo, lima menit lagi kau naik keatas panggung,"

Hugo mengangguk, ia segera berlalu kebelakang panggung, mempersiapkan segalanya.

"Aku tidak mengerti pada kalian berdua," ujar Tydi tiba-tiba.

"Mengerti apa?"

"Mengapa kau dan Hugo sangat mirip? Jangan-jangan Ibu kalian bercinta dengan pria yang sama,"

"Jaga mulutmu," aku mendengus kesal. Belum juga reda amarahku, Tydi sudah memancing lagi.

Tydi terkekeh kecil, "Tenang, kawan. aku hanya bercanda. Ayo ikut aku, biar ku kenalkan pada gadis-gadis penghuni pub ini..


***TBC***

Di mulmed itu ceritanya Incy ya x)) happy satnite

Innocence [Short Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang