Trio

259 12 0
                                    

Sebuah pengalaman masa kecil dari kannanpan

--------------

"Mpit, sini, sini!" teriakku sambil melambai-lambaikan tanganku pada temanku-Gumpita-kemudian melanjutkan berlari berbelok di tikungan. Beberapa detik kemudian, derap langkah Gumpita terdengar, semakin mendekat-semakin mendekat. "Dor!" seruku begitu ia tiba di tikungan.

Namun sayang, bukannya terkejut, Gumpita justru langsung memosisikan jemari telunjuknya di depan bibirnya. Ia lantas menarik tanganku kemudian kami melanjutkan lari.

"Dek, jangan cepet-cepet!" teriakan itu terdengar sebelum kami belok lagi pada tikungan lainnya dan akhirnya benar-benar pergi-tanpa memedulikan. Kami terus berlari sambil bergandengan selayaknya tengah dikejar polisi.

Aku tidak tahu bisa menyebut ini nakal atau tidak. Pasalnya, Gumpita dan aku berlari ke tikungan yang berbeda arah dengan Bibi, dan kami menunggu di tikungan lainnya. Gumpita dan aku berkali-kali melongok, kami menunggu, tertawa-tawa, dan terus saja mengulang semuanya.

Begitu kami melihat Bibi mendekat, Gumpita dan aku lantas keluar dan mengejutkan. Setelahnya, kami tertawa puas akan kejahilan yang kami perbuat. Entahlah, ketegorikan saja itu agak jahat, atau bahkan jahat.

Gumpita dan aku melanjutkan berlari sendiri. Berlomba-lomba ingin lebih cepat, sama-sama menghentakkan sepatu di aspal. Derap langkah yang cukup cepat membuat rambut Gumpita-yang dikuncir dua-bergerak naik turun, sementara rambut pendekku yang terurai berkibas begitu saja.

Begitu tiba di perempatan antara rumah Gumpita dan rumahku, kami saling pamit. Namun sebelum benar-benar pergi, kami bersepakat untuk saling samper. Siapapun yang lebih cepat rapi, dia yang menjemput dengan sepeda. "Dah, Bel! Nanti aku makan dulu ya," ujarnya.

"Dah, Mpit! Nanti yaa!" balasku kemudian berlari ke arah rumahku.

Ganti baju kemudian makan siang. Setelahnya, aku langsung mengeluarkan sepeda, dan lantas melaju menuju rumah Gumpita. "Vitaa!" teriakku di depan rumahnya. Sesekali bel yang ada di sepedaku, kubunyikan. "Vita!" aku terus melakukannya sampai Gumpita melongok dari pintu.

Aku langsung memasukkan sepedaku ke teras rumahnya kemudian masuk. "Aku belum selesai makan, belum ganti baju juga," katanya sambil berjalan di depanku menuju ke kamarnya.

Selagi menunggu Gumpita menghabiskan makan siangnya, aku menonton televisi sambil mengobrol dengan Gumpita tentang banyak hal. Tentu saja itu membuat Gumpita memakan waktu lebih lama untuk menghabiskan sepiring nasi dengan nugget-nya tersebut.

Namun begitu Gumpita selesai makan, dan meminta izin main. "Dek, jangan jauh-jauh ya! Jangan kesorean!" Ujar Bibi yang tengah menyetrika pakaian.

"Iya, Mbak!"

Gumpita menaiki sepedanya yang masih di dalam rumah, namun pandangannya langsung tertuju pada ban belakang sepedanya. "Yah ban sepedanya kempes, Bel" ucap Gumpita. Aku mengangkat bahuku. "Pake sepeda kamu aja yuk, aku bonceng sini," katanya.

"Ya udah, ayo" balasku kemudian berbalik.

Gumpita langsung menaiki sepedaku kemudian mengeluarkannya dari teras rumah. Begitu aku naik, Gumpita mengayuh sepedaku. Sambil jalan, kami merundingkan tujuan main kami siang ini. "Bel, mau ke mana?" tanya Gumpita.

"Terserah," sahutku datar. Tanpa meminta persetujuan, Gumpita langsung menentukan sendiri tujuannya. Dari rumah Gumpita, kami melalui jalan turunan, sebuah jalan besar yang kadang dilalui banyak mobil. Yah, meski sebenarnya kami tidak boleh main jauh ke sini.

Terlalu bahaya. Selain banyak mobil dan motor, di jalan ini ada sebuah rumah yang memelihara banyak anjing. Bukan masalah, sih, tapi anjingnya tidak ada di dalam kandang, jadi ... sering berkeliaran di jalan. Lagi pula, banyak juga orang yang tidak kami kenal di daerah sini.

STOOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang