Menggantung Asa di Pohon Mangga

87 6 2
                                    

Sebuah pengalaman masa kecil dari lil-galilei

-------

Bingung harus kumulai cerita ini dari mana. Haruskah kumulai dengan aku yang sedang duduk sendiri di taman sepi yang tidak terlalu indah? Atau kuperkenalkan dulu sedikit tentang diriku? Um ... baiklah, keputusanku jatuh pada pilihan kedua.

Aku Tika. Baru saja melepas identitas sebagai siswa Sekolah Menengah Atas dan sedang repot-repotnya menyusun masa depan. Lelah? Tentu saja iya.

Duduk bersender di tempat yang punya satu kenangan itu bisa jadi pelarian dikala penat melanda. Ingatanku memutar balik masa lalu. Ingin kembali lagi kemasa anak-anak. Ketika kita belum tahu kemana akan melangkah dan tak takut salah pilih arah. Ketika beranggapan cita-cita hanyalah satu ambisi mudah yang bisa dilakukan dengan satu jentikan tangan.

Dengan selembar kertas dan pena aku mulai merangkai kata, kutulis sebuah kisah lama atau apa yang orang sebut bernostalgia.

...

7 tahun lalu

"Tik, ke toilet buruan! Bawa pensil juga!" seru Yelly setelah masuk kelas dengan gaya petakilannya yang khas.

"Ngapain?" tanyaku setengah keheranan.

"Ish ... nggak usah banyak nanya." Dia menarik tanganku, membuatku harus meninggalkan makanan yang belum habis di atas meja.

Aku mengikuti arah tarikannya, menuju toilet perempuan yang tak jauh dari kelas. Ia menarikku ke dalam, disusul dua teman lainnya. Bayangkan satu toilet kecil yang diisi empat perempuan berseragam pramuka yang baru saja dijemur di lapangan. Bau. Sumpek. Pengap.

"Liat!" seru salah satu orang bernama Agis. Ia menunjuk ke sisi dinding yang tersembunyi di balik pintu. "Jadi selama ini Manda suka sama Rubi, Tik," ujarnya menjelaskan apa yang ia temukan.

Mataku menyapu setiap dinding toilet. Melihat berbagai macam bentuk tulisan tangan yang berisi curhatan sampai gambar abstrak.

"Lo tulis juga dong, Tik," kata Cika membuatku menoleh padanya.

"Tulis apaan?"

"Yailah, Tika malah sok blo'on." Cika memutar bola matanya, membuat matanya yang besar terlihat semakin besar. "Tulis nama lo sama doi lo."

"Apaan?! Ogah," kataku sembari melangkahkan kaki ke arah pintu.

"Eee ... jangan kabur dulu! Tulis aje, dienye juga nggak bakal tahu," desak Yelly tak mau kalah. Bau, sumpek, dan pengapnya toilet yang masuk ke paru-paru mulai menginfeksi otakku karena sebentar kemudian pertahananku goyah. Aku mulai menggoreskan ujung pensilku ke pojok bawah dinding toilet.

"Nah, gitu dong. Lagian kalo diliat juga yang tau cewek-ceweknya doang." Agis berucap dengan nada puas.

"Heh, nggak inget kemarin cowok-cowok pada masuk ke toilet cewek?!" ucapku yang dijawab dengan cengiran tak bersalah dari Agis.

Kembali aku masuk ke kelas, berniat meneruskan makan siangku yang tertunda. Tahu apa yang kutemukan? Makananku lenyap seketika, menyisakan bungkus plastik dan botol aqua di atas meja. Aku mendesah pasrah, lalu membuang sampah yang ada di sana.

***

Pramuka adalah kegiatan yang paling melelahkan. Menjadi wakil ketua regu mengharuskanku untuk berdiri di barisan paling belakang. Dengan tubuh pendek aku hanya bisa mendengar apa yang di katakan guru pembina karena pandanganku yang terhalang adik kelas yang tingginya sangat menjulang.

Dua jam kemudian, selesai sudah semua kegiatan. Aku mulai membereskan barang-barang di meja, lalu kudengar suara Yelly memanggilku.

"Kenapa, Yel?" tanyaku padanya.

"Maen ke taman biasa ye," ajak Yelly. "Gue ajak Agis sama Cika juga."

"Nggak, ah. Males jalan. Tas gue lagi berat," tolakku.

"Kan ke sononye naik sepeda gue bege."

Aku mengetuk-ngetuk jari di dagu, berlagak mikir. "Oke deh."

Aku mengikuti arah jalan ketiga temanku menuju parkiran sepeda yang berada di belakang sekolah. Menggunakan sepeda kami berempat mulai menyusuri jalan ke arah taman biasa tempat kami bermain sepulang sekolah.

Aku yang berteman lama dengan Yelly sangat tahu bagaimana rasanya diboncengi olehnya. "Yel, sekali aja lo bawa sepeda yang bener, dong," pintaku. Dia tidak menggubris permintaanku, sepedanya masih ia kemudikan dengan selengean. Belok kanan, belok kiri, kanan lagi, kiri lagi, sampai akhirnya ...

Bruk!

... sepeda yang kunaiki terjatuh.

"Tuh kan, gue bilang juga apa, Yel!" gerutuku pada Yelly yang sibuk tertawa keras karena kebodohannya.

Aku bangkit dari jatuhku, membersihkan pasir yang menempel di tangan bercampur goresan luka. Tawa Yelly masih belum berhenti yang malah berbaur dengan tawa Agis dan Cika.

Setelah lelah tertawa, kami melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan. Tidak kulihat seorang pun di sana, maklum ini cuma taman kecil di komplek sederhana.

Kami bersender di bawah pohon mangga, membicarakan banyak hal di sana. Mengingat kembali kejadian yang terjadi selama seminggu terakhir sampai mengharapkan mimpi-mimpi yang terdengar mudah dicapai. Aku melihat ke atas, mangga-mangga kecil tergantung di dahan pohon tempatku bersender.

"Eh eh eh, masa ye gue sering liat tuh di film-film orang ngegantungin harapannye di pohon," ujar Yelly, jarinya dengan semangat menunjuk ke atas. Semua terdiam menunggu ucapan Yelly selanjutnya. Kami saling berpandangan karena yang ditunggu tak kunjung datang.

"Lah, terus?" tanya Agis agak menjengkelkan.

"Ya, kita gitu jugalah. Tulis apa gitu. Kali aja kesampean."

Lagi, kami semua berpandangan. "Oke." Aku mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas, menyobeknya menjadi beberapa bagian, juga mengeluarkan beberapa ikat benang bekas pelajaran prakarya.

Satu per satu kami mulai menulis harapan kami. Lama aku berpikir. 5 menit. 10 menit. 15 menit. Harapanku masih kosong, mengenaskan.

Aku melirik Yelly yang duduk di sampingku. "Jangan diliat!" Ia menutup kertasnya dengan kedua tangan. "Nanti harapannye nggak terkabul."

Ucapan Yelly membuatku pasrah. Aku menghembuskan nafas, perlahan mulai menulis keinginan anak Sekolah Dasar pada umumnya. Tak sampai 10 menit keinginan itu selesai sudah. Aku menggulungnya, lalu mengikat gulungan itu ditengah. Bersama-sama kami bangkit, menggeser bangku di dekat sana untuk naik ke atas pohon tempat kami bersandar tadi.

Ketika tiba giliranku, aku mulai naik ke pohon mangga itu. Tidak peduli dengan angin yang membuat rok selututku tertiup, atau semut yang menempel di tangan. Perlahan namun pasti aku naik sampai tanganku bisa menggapai dahan yang cukup kecil. Kuikat harapanku di sana, menari-nari bersama angin sampai ia terlepas dari pegangannya.

...

Kembali ke saat ini, aku masih bersender di bawah pohon mangga yang lebih besar dari beberapa tahun silam. Harapanku yang dulu tergantung di atas sekarang telah hilang. Tergantikan oleh mangga-mangga yang telah masak.

Aku membalik kertasku yang kini terisi penuh dengan coretan menuju halaman paling awal. Kutulis serangkaian kata di bagian atasnya, membentuk sebuah judul. 'Menggantung Asa di Pohon Mangga'.

Oh, iya. Satu yang ingin kuberitahu: tak ada satu pun harapan yang kutulis telah terkabul sampai sekarang.

٩;

STOOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang