Cuplikan Masa Bahagia

86 8 2
                                    

Sebuah pengalaman masa kecil dari @tanevast

------------

9 tahun yang lalu...

Gadis itu mengayuh sepedanya dengan semangat. Di belakangnya, tampak pria berumur dengan senyum menenangkan yang berjalan dengan tujuan yang sama dengan si gadis.

Tanjakan kini terlihat berada tepat di depan si gadis. Gadis itupun menatapnya khawatir.

Ia menelan air ludahnya. "Pa, aku tak bisa."

Pria berumur yang dipaggil Papa itu jongkok untuk dapat melihat gadisnya dengan jelas. "Gak ada yang gak bisa, sayang. Coba dulu, gih," ucapnya sambil mengelus puncak kepada gadis itu.

Gadis itu tersenyum disertai anggukan pasti. Ia kembali menaiki sepedanya, dan mengayuhnya sekuat tenaga. Perlahan ia tak lagi duduk di jok sepeda itu. Ia mengayuhnya sambil berdiri, untuk meningkatkan kecepatannya.

"Aku bisa... aku bisa!" Gumamnya penuh ambisi.

Sedikit... sedikit... dan kini ia berada di puncak tanjakan itu.

Ia melongo melihat keadaan di hadapannya. TK Amanah Perumnas II kini terlihat jelas di hadapannya.

"Pa," panggil gadis itu.

"Iya dek?" Jawab sang Ayah saat sudah berada di sebelah sang gadis.

"Paa... gak mau sekolaahh!! Mau pulaanngg!!"

--
--

Hari ini masih sama dengan lima hari yang lalu. Aku ... masih menangis di belakang jendela kelas TK Amanah ini.

Yap! Akulah gadis itu. Mataku sembab beberapa hari ini. Aku terus menangis. TK tak seindah playgroup dulu.

"Kit, ini crayonnya," seru seorang perempuan berumur dengan lembut. "Jangan nangis terus. Kasihan Papa nunggu di luar sekolah terus. Kita main sama-sama ya."

Aku menatap wanita itu dengan mata basahku. Perlahan aku menatap seisi kelas yang memperhatikanku sejak tadi. Hatiku mulai tergerak. Akhirnya, aku bisa mengikuti TK sampai wisuda TK. Aku menganggap wisuda ini luar biasa. Ini adalah kali pertama aku mengenakan lipstick.

--
--

7 sampai 4 tahun yang lalu

Di Padang, semua terasa berbeda. Aku adalah anak pindahan dari Jakarta, maka semua terlihat berbeda.

Hari ini adalah hari pertama aku di MDA. Di Padang, anak Sekolah Dasar diwajibkan mengikuti MDA.

Di masjid inilah aku mengenal beberapa teman baru, diantaranya Ririn dan Wulan. Mereka adalah teman dekat di MDA dan berbagai hal kami lakukan.

Masjid terdengar berisik karena kehadiran kami. Lantai dua masjid yang merupakan kelas kami, malah kami jadikan tempat bermain. Berlari, main kotak pos, main bekel (yang lebih dikenal dengan nama kucing-kucing di Padang), main karet.

Banyak hal lucu yang kami alami di masjid ini. Dimulai dari main sepeda sore hari, beberapa kali terjatuh dan menangis bombay.

Memiliki keluarga palsu, dimana kita bisa menjadi Ibu, Ayah, anak bayi. Hidup saat itu bak cerita fiksi dimana semuanya bisa terjadi.

Mandi di sore hari, pakai baju baru, pakai bedak gak rapi, lalu berjalan keliling kompleks. Merasa diri paling cantik, karena tiap bertemu tetangga dipuji cantik. Rasanya terbang ke langit ke tujuh.

Saat itu, dimana daun menjadi uang, batu bata menjadi bumbu dapur, dimana kompor tak berapi, dimana minum gelas kosong pun bisa, dan boneka menjadi teman paling setia.

Masalah sekolah? Sekolah awalnya tempat yang mengerikan. Namun, seiring berjalanan waktu, sekolah menyatu dan menjadi tempat paling sering ditempati.

Di sekolah semua terjadi. Masalah abal-abal masa itu.

"Jangan temenan sama dia, dia pernah bicarain keburukanmu."

Kira-kira seperti itulah kata-kata yang menimbulkan masalah antara satu orang dengan orang lain, lalu orang itu mengatakannya pada yang lain untuk percaya padanya, hingga pertemanan menjadi berkubu-kubu.

Saat sekolah, orang yang pintar lebih disegani. Orang yang pintar dipandang begitu hebat dan luar biasa.

Di sekolah juga bermain lebih lepas. Bermain di dalam kelas ketika pulang cepat di hari Sabtu. Bernyanyi-nyanyi memenuhi kelas hingga penjaga sekolah mengusirnya.

--
--

3 tahun yang lalu

"Wooyy!! Nomor tiga tadi apa?" Tanya Wulan semangat ketika baru saja keluar ruang ujian.

Ini adalah masa dimana ujian sangat sering terjadi. Masa ini, masa dimana semua orang dalam satu ruangan peka dengan kode-kode.

Satu-satunya situasi dimana semuanya saling bergantung. Situasi dimana kertas beterbangan sangat cepat, hingga tak terlihat.

Kini aku berada pada tinggatan yang cukup tinggi. Kelas lima SD, menjadikan belajar cukup serius.

Tak jarang aku merasa kesal karena banyak murid yang tak jujur untuk mendapatkan nilai bagus. Salah satu caranya adalah menyimpan buku catatan di bawah laci meja, hingga mereka leluasa menyalin jawaban yang sudah tertera di sana.

Aku adalah orang yang cukup jujur kok saat ujian. Tania gitu loohh.

--
--

2 tahun yang lalu

Ini adalah masa dimana aku serius belajar. Namun, banyak kejadian unik yang terjadi di masa ini.

Saat itu adalah awal boomingnya android dan segala macam. Sebagai anak yang gila, kami hanya mengetahui aplikasi yang gila pula. Diantaranya mendeteksi hantu. Di dalam kelas, kami memekik tak karuan karena alat pendeteksi abal itu. Katanya hantunya di sana, di sini gak jelas.

Kelas enam ini persahabatan terasa hangat. Pertemanan yang sudah dijalin hampir enam tahun ini amat terasa di ujung masa polos kita. Awalnya, kami senang akan adanya Perpisahan Sekolah. Kami sudah merancang apa yang akan dilakukan. Semua mengenai kesenangan.

Tak lupa mengenai Ujian Nasional. Kami belajar dengan maksimal dan dalam keadaan serelax-relaxnya. Apapun dilakukan agar kita mengerti. Les, nyanyian yang berisi materi, kartu permainan berisi materi, menciptakan permainan mengenai materi, semua itu! Itu adalah cara belajar kami. Sebagai anak-anak, kami masih sempat bermain bekel dan bermain karet di sela-sela jam istirahat.

Ah ya! Satu hal gila yang aku lupakan! Itu adalah mengenai permen karet. Kami sangat menggemari permen karet. Saking gilanya, kami memakan sampai tiga permen karet sekaligus, untuk mendapatkan balon yang besar. Namun, akhirnya kami tahu bahwa permen karet tak baik. Selain membuat bagian bawah meja terlihat menjijikan dengan bekas permen karet itu, penyakitpun bisa tinbul. Salah satu diantara kami menderita amandel karenanya.

Seperti yang aku katakan, masa ini adalah masa dimana kami tahu arti persahabatan sesungguhnya. Kami begitu dekat dengan berbagai kebiasaan buruk. Diantaranya, mengejek nama orang tua, dan tidak begitu memperhatikan orang yang berbicara (alias kacang). Namun, di sini pula kita tumbuh dengan rasa peduli yang tinggi. Selalu menyumbang demi kawan yang sedang sakit. Selalu membantu jika dalam masalah.

Hingga tiba saatnya Ujian Nasional. Saat itu, banyak rencana tentang kami. Rencana keluar kelas dan berkumpul di satu tempat yang sama untuk menanyakan jawaban. Tempat yang menjadi korban adalah WC sekolah. Karena kami ujian bersama sekolah lain, tak jarang kami terlibat pertarungan mulut yang sengit. Hanya karena masalah kecil, mulut ini menjadikannya riwet alias rumit.

Masa perpisahan di depan mata. Kami sudah membayangkan liburan dan bersenang-senang untuk yang terakhir-kalinya. Namun, apa?! Tak ada acara perpisahan sedikitpun. Semua rencana kacau! Hanya kenangan yang dapat kita ingat. Sungguh perpisahan yang menyedihkan. Tetapi, senyuman selama ini mampu mengobatinya.

--
--

Aku menelan ludahku dengan berat. Aku menghapus air mata di pipiku yang sukses mengalir. Astaga ... semua kenangan itu melintas di sela kegiatanku. Aku merindukan saat itu. Rindu di saat manusia tak dibodohi teknologi. Masa kecil yang tak sia-sia. Masa kecil yang menghantarku pada titik yang aku banggakan saat ini.

STOOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang