Jenny menghembuskan napas perlahan. Ia menatap pantulan wajahnya di cermin untuk terakhir kalinya. Setelah merasa cukup, ia membuka pintu perlahan–berharap tak menimbulkan banyak suara–dan bergegas menuruni tangga. Sejujurnya, ia mulai lelah bermain kucing-kucingan seperti ini. Percuma menyimpan bangkai, karena lama-kelamaan pasti akan tercium juga baunya.
Ternyata tak butuh waktu lama untuk membuktikan asumsinya. Baru saja menginjak anak tangga terakhir, terdengar langkah cepat seseorang dari arah dapur. "Mau kemana kamu?".
Jenny membeku. Ia benci situasi ini. Otaknya serasa kosong, mulutnya terkunci, tetes keringat dingin menambah kegugupannya.
Tapi sial, tangan Mama lebih dulu mencekal lenganku. Tubuhku dibalik paksa. Sekarang posisiku tepat di depan wajah Mama. Tatapannya mendelik saat melihat penampilanku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Tak ayal kalimat pedas meluncur dari bibir Mama. "Apa-apaan ini? Kamu mau jadi pelacur?"
Aku akui aku memang agak beda pagi ini. Dengan singlet hitam ketat, rok mini 2 inci di atas lutut, make up tebal ala rocker, dan sepatu boat bertali selutut, aku lebih mirip berandalan daripada pelajar yang akan pergi sekolah.
Bukan apa-apa, aku hanya mencoba mengkreasikan perasaanku. Ini hari ulang tahunku, tapi tidak ada yang menyadarinya. Jadi ya, aku rayakan sendiri deh. Lagi pula pihak sekolah membebaskan muridnya untuk berpenampilan sesuai karakter masing-masing. Ini abad-22. Saat ini sekolah menengah lanjut tidak hanya digunakan sebagai sarana mencari ilmu, tapi juga berfungsi rangkap sebagai panggung kasat mata untuk menunjukkan seberapa 'menarik' dirimu di mata orang lain.
Tapi Mama sepertinya tidak tau dan tidak mau tau itu.
Aku mencoba melepas cengkramannya. "Lepasin Mama, sakit." Aku terus memberontak. Enggan meladeni pertanyaan ritoris Mama.
"Sudah berani ya kamu!" Mama ganti menarik rambutku paksa. Menyeretku ke kamar mandi. Lalu menelungkupkan wajahku ke bak cuci piring dan menyemprot wajahku dengan air kran yang menyala.
Rasanya sulit sekali bernapas. Aku menangis, tapi tidak berani melawan apalagi berteriak. Mama akan semakin kejam menyiksaku kalau aku melawan. Lagi pula tidak ada orang lain yang akan menolongku. Di rumah hanya ada aku dan Mama.
Papa? Ah, lupakan orangtua tiriku itu. Dia orang yang paling tidak bisa diandalkan. Selalu sibuk dengan urusan bisnisnya, jarang di rumah. Dia juga tidak peduli denganku. Bahkan pernah suatu hari dia tetap bergeming saat Mama jelas-jelas memukulku di depan matanya. Kalau dipikir-pikir, kisahku seperti Cinderella. Bedanya, jika Cinderella punya tiga ancaman di rumah, aku hanya punya satu. Dan itu Mama kandungku sendiri.
Mama membenciku karena aku anak hasil hubungan gelap di luar nikah. Kesalahan terburuknya saat kuliah. Malangnya lagi papa kandungku tidak mau bertanggung jawab dan pergi begitu saja. Tidak ada dukungan dari keluarga. Mamaku jatuh terpuruk. Dia sudah berusaha ribuan kali untuk menggugurkan kandungannya, tapi selalu gagal. Akhirnya dia menyerah dan membiarkanku hidup, tanpa mau repot-repot mengurusnya.
Setelah melahirkan aku, Kakekku yang awalnya marah berbalik iba saat melihat keadaan Mama. Beliau menjodohkan Mama dengan seorang Pengusaha anak sahabat karibnya. Perjaka pra-tua yang tak laku-laku.
Tapi meski begitu, bukan berarti Mama tak mencintai Papa tiriku. Ia sangat mencintainya, Mama akan melakukan apapun yang diminta Papa tiriku. Begitu pula Papa tiriku. Mereka saling mencintai. Aku hanya benalu diantara mereka berdua. Tidak ada yang peduli denganku.
Namun Papa tiriku tak pernah lupa memberiku uang bulanan. Ia sangat kaya. Aku selalu menyimpannya untuk biaya hidupku. Mamaku pelit soal uang, uang sekolah yang diberi Papa tiriku ke Mama selalu masuk ke kantongnya. Mama enggan membiayai sekolahku. Katanya, aku harus bisa belajar hidup hemat dan membiayai sekolahku sendiri dari jatah bulanan yang diberikan Papa tiriku.
Cih, padahal dia hidup dengan berbagai macam pemborosan. Masih saja sempat menasehati orang lain. Dasar orang dewasa.
"Cepat pergi ke kamarmu. Ganti baju!" Mama mendorongku menjauh. Aku yang sudah mulai lelah hanya menurut dan berjalan menunduk keluar dari zona mengerikan ini. Tetesan air mata bercampur tetesan air kran sisa perbuatan Mama jatuh membasahi lantai yang aku pijak.
Aku membuka almari dan mencari setelan model 80'an. Kemeja polos biru muda berlengan panjang, rok sepanjang mata kaki, dan sneaker tua butut milikku. Aku membersihkan sisa-sisa make up dan jejak air mata. Kukepang rambut lurusku ke belakang.
Aku keluar kamar untuk kedua kalinya. Mama mengawasiku di depan pintu. Tanpa mengucapkan apapun aku melewatinya begitu saja. Oke, aku memang anak durhaka, tapi aku tidak peduli. Persetan dengan sopan-santun. Aku hanya ingin segera keluar dari rumah neraka ini secepatnya.
Tbc..
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil and The Cinnamon
RandomJenny. Sosok manusia, baiklah, perempuan dengan tragedi hidup lebih banyak dari total peristiwa hidup. Korban bullying di rumah dan di sekolah. Dilahirkan dari rahim seorang ibu berkelakuan mengerikan. Tekanan hidup yang dialaminya membawa Jenny m...