TDATC : Chapter 4

93 7 1
                                    

Multimedia : Sosok kyeryen Razuel :D

Happy reading..

﹏﹏

Jenny POV.

Aku benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran Elang. Tadi dia yang gencar memprovokasi teman-teman untuk mengerjaiku, sekarang malah dia yang ngebet banget mengantarku ke uks.

Begitulah, mentalku jatuh setelah kejadian memalukan tadi. Yang kulakukan selanjutnya hanya duduk di lantai sambil menangis dan memeluk lutut. Mrs.Clark berusaha membujukku untuk kembali duduk di kursi karena pelajaran akan segera dimulai. Tapi aku menggeleng lemah. Aku capek, batinku. Bagaimana tidak, hampir tiap hari aku mengalami hal-hal yang menyakitkan. Dan ini adalah puncaknya.

Aku berpikir seharusnya aku nggak pernah lahir, seharusnya papa nggak meninggalkan mama, seharusnya mama melindungiku, seharusnya aku tidak disekolahkan di sini, seharusnya aku punya teman, seharusnya aku tidak menjadi korban bullying Elang, seharusnya aku punya cukup keberanian untuk mengadukan Elang ke pihak sekolah, seharusnya..seharusnya.. seharusnya..

Ada terlalu banyak kata 'seharusnya' berputar dalam otakku. Sebongkah rasa marah menyeruak. Dadaku sesak. Aku tidak terima! Ya, aku tidak terima pada semuanya. Mama, papa, Elang. Mereka semua biang keladi atas segala kesialan hidupku. Mereka harus bertanggung jawab. Mereka harus merasakan rasa sakit yang aku rasakan.

Mereka,

Pantas mati.

Kutepis uluran tangan Elang yang ingin membantuku berdiri. Dengan tidak peduli aku bangun cepat dari posisi dudukku. Terburu-buru keluar kelas tanpa izin Mrs. Clark dan berlari menuju uks. Sempat kudengar samar suara tawa teman-teman sekelasku dan teriakan Elang yang memanggil namaku dengan benar untuk pertama kalinya, "Jenny..jenny! Tunggu."

Tapi aku terus berlari. Tak berniat menoleh ke belakang atau berhenti menunggu Elang.

Kubuka pintu uks sedikit kasar. Untungnya penjaga uks, Mr. Dunn tak ada di tempat , mungkin beliau sedang makan di kantin.

Segera aku menuju bilik pasien dan menjatuhkan tubuhku disana. Kutelungkupkan wajahku di balik bantal. Aku menjerit sambil terus menangis. Hidup sialaaaaaaaaaaan! Rutukku dalam hati.

"Jenny.."

Langkah kaki seseorang berdencit di ruangan sempit berukuran 3x4 meter ini. Aku menahan napas tegang.

Doraemooon, aku ingin menghilang sekarang juga. Pikiran konyolku mulai ngelantur.

"Apa kau baik-baik saja?" Suara tanya lirih kembali terdengar dari bilik pasien sebelah yang dibatasi selambu hijau muda. "Tadi bukan aku yang melakukannya. Sungguh."

Dia hanya mencoba memancingku, batinku geram.

"Aku tau kau tak akan percaya padaku."

Kalau sudah tau kenapa tanya. Bego.

Suara itu semakin melemah, ada nada sarat sesal disana. "Jenny.."

Memuakkan.

"Meskipun aku mengataimu tiap hari dengan mulut pedasku. Tapi aku tak pernah berniat sedikitpun untuk menyakitimu secara fisik. Aku tak sepengecut itu."

Huh, bullshit. Mana ada penjahat yang mengakui kesalahannya. Bisa-bisa penjara penuh nanti. Aku semakin marah dengan sikap kepur-puraannya. Manis namun mematikan. Aku tau itu.

"Pergilah. Aku tak tau niat buruk yang kau rencanakan selanjutnya. Mustahil kau tiba-tiba baik tanpa sebab padaku. Semua orang tau seperti apa dirimu." Usirku dingin menahan tangis.

"Terserah. Asal jangan menuduhku seenak jidatmu. Bukan aku yang melakukan hal konyol itu. Aku memang penjahat. Tapi sekali lagi, aku bukan pengecut. Ah ya, dan lagi, jangan kau pikir aku peduli atau tertarik padamu karena aku meminta maaf tadi. Haha. Jangan mimpi kau. Dasar kambing cengeng."

Brakk

Suara bantingan pintu terdengar tepat saat percakapanku dengan Elang berakhir.

Entah kenapa, meskipun aku tau sejak awal semua akan berakhir seperti ini, tapi tak dapat kupungkiri hatiku sedikit..

Kecewa.

﹏﹏

Razuel POV.

"Pi, please izinin Razu ke bumi ya." Gue mencoba membujuk papibuntuk kesekian kalinya selama seminggu ini. Oh ya, Razu itu nama panggilan gue di rumah.

"Aduh, Razuuu. Kamu bikin papi pusing. Kan papi udah bilang 'Nggak'. Kamu gak ngerti kata-kata papi di bagian mananya sih?" Jawab papi tetap tak beranjak dari bacaan korannya.

"Tapi pi, Razu kan udah gede. Udah bisa mandiri. Papi kok jahat sih sama Razu. Jangan-jangan papi udah gak sayang sama Razu lagi ya. Papi pasti udah ngelupain Razu. Pasti gitu." Bujukan maut pertama.

Papi mengangkat wajahnya dari balik koran. Tampak berpikir. Lalu beliau melipat koran menjadi 2 bagian dan menaruhnya di atas meja seperti semula.

"Kenapa kamu pengen banget pergi kesana? kamu tau kan, Bumi bukan tempat main-main Razu."

Aku dibully, pi. Ingin banget rasanya gue bilang gitu, tapi gue urungin. Udah cukup gue dibully. Gue gak mau dikatain manja atau kemayu sama anak-anak sekolah gue, lebih-lebih geng abal yang biasa bully gue gara-gara gue ngadu ke papi.

"Iya-iya, Razu tau. Mangkanya Razu pengen nyari tantangan baru biar nanti Razu bisa jadi iblis putra papi yang membanggakan keluarga." Bujukan maut kedua.

Papi tersenyum. Iya lah, dia paling sensitif banget kalau masalah takhta-kedudukan gini. "Oke deh, tapi papi gak bisa ngajarin kamu caranya sampai ke dunia manusia."

Mataku terbelalak kaget. "APA?? Lah trus yang bisa ngajarin Razu buat ke dunia manusia siapa piiiii ??? Jangan bilang gak ada!"

Papi tertawa lebar. Papi emang gak peka. Gak tau apa kalau anaknya sekarang lagi mo jantungan. "Minta ajari kakakmu."

Apa????

Gue jantungan. Ah nggak, bahkan jantung gue udah beneran lompat sekarang.

﹏﹏

Tbc...

Tra..la..la..la..la.. :v akhirnya kelar.

Jangan lupa vote + comment nya ya, readers. ^^

Kacimaaaah__*v*
#peluk cium mwah.

Oh ya, selamat hari raya idul adha bagi yang merayakan :)
Buat jones, jangan khawatir gak bisa gpp lah korban perasaan aja cukup :v

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 26, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Devil and The CinnamonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang