SANTAPAN LEZAT SI GAGAK Andry Chang dan Petra HT

168 23 0
                                    

SANTAPAN LEZAT SI GAGAK

Andry Chang dan Petra HT

Seekor burung gagak sedang terbang tak tentu arah, berkelok-kelok serampangan seperti sedang mabuk. Sesekali perutnya berbunyi, dan kepalanya terasa pening sekali.

"Aduh, hari sudah senja," kata si Gagak berbulu hitam itu pada dirinya sendiri. "Gawat, kalau sampai aku tak makan daging lagi hari ini, aku tak akan punya tenaga untuk terbang besok. Dan kalau aku tak terbang, aku hanya bisa berharap ada banyak cacing di sekitar sini agar bisa bertahan hidup."

Saat terbang di atas padang rumput, mata si Gagak berbinar-binar melihat seonggok tubuh kuda zebra terbaring mati di kejauhan. Namun tubuh si Gagak berubah lemas dan gemetaran, ada apa gerangan?

Rupanya sekelompok singa, satu jantan dua betina tengah berkumpul, mengerubungi tubuh berbulu loreng hitam-putih zebra itu dan memakannya. Hati si Gagak ciut seketika. Para singa itu sungguh kuat dan ganas, hampir pasti si gagak takkan diizinkan makan bersama mereka. Setelah mereka pergi, si gagak pasti hanya akan kebagian sisa daging saja, dan sebentar lagi ia pasti bakal lapar lagi.

Saat si Gagak hendak terbang pergi saja, tiba-tiba si Singa Jantan memanggilnya. "Hai Gagak, mengapa kau pergi? Kami hampir selesai makan, tunggulah sebentar lagi!"

"Tak apalah, biar aku cari saja lagi di tempat lain," dalih si Gagak. Namun saat hendak membubung, ia merasa amat lemas dan malah jatuh ke tanah. Mati-matian si Gagak mengepakkan sayapnya sekuat tenaga agar bisa membubung lagi, namun benturan maut dengan tanah tak terhindarkan lagi.

Si Gagak memejamkan mata, pasrah. Saat berikutnya, ia merasakan tubuhnya mendarat di permukaan yang empuk. Walau tetap terasa sakit, ia membuka mata. Ternyata ia berada di surai si Singa Jantan. Si Gagak kembali jatuh dari surai itu ke tanah. Tubuhnya terasa amat lemas, sungguh menyedihkan.

"Wah, kasihan sekali kau. Ini, makanlah sekerat daging zebra," kata sang Singa Jantan sambil memberikan sepotong besar daging yang masih menempel pada kulitnya pada si Gagak.

Si gagak menggeleng dengan sungkan. "T-tapi, bukankah ini bagianmu?"

"Ya, tapi tak apalah. Lagipula aku sudah cukup kenyang untuk beberapa lama, anggap saja ini amal dariku." Sang Singa Jantan tersenyum. "Lagipula ini juga ungkapan rasa terima kasihku atas pengorbanan kuda zebra ini, agar kami para singa dapat bertahan hidup di iklim panas nan kejam ini. Caranya tentu dengan berbagi dengan makhluk-makhluk lain agar mereka dapat bertahan hidup pula."

Si Gagak hanya mengangguk lemah tanda mengerti. Perlahan-lahan, paruhnya mematuki dan memakan daging zebra. Saat akhirnya si Gagak kembali berdiri, masih banyak daging zebra yang tersisa.

"Terima kasih banyak telah menyelamatkan nyawaku, Pak Singa. Ini, silakan bapak ambil kembali sisa daging ini," ujar si Gagak dengan riang.

Namun si Singa Jantan malah mengangkat satu kakinya. "Tak usah, ambillah untuk persediaanmu saja. Anggap sajalah ini pemberian dari Sang Pencipta untukmu." Tanpa menunggu tanggapan si Gagak, singa jantan itu langsung berbalik dan pergi, menyusul para singa betina yang sudah selesai makan pula.

Tinggal si Gagak sendirian, paruhnya menimang-nimang daging itu. "Wah, daging zebra ini sungguh lezat! Aku tak sabar ingin memberitahu teman-teman tentang ini!" Si gagak mencengkeram daging itu dengan kedua kakinya, sambil ia bertolak dari tanah dan terbang.

Dalam perjalanan pulang ke sarangnya untuk menyimpan daging persediaan itu, si Gagak berpapasan dengan temannya, si Burung Unta. "Hai, Burung Unta, lihat apa yang baru kudapat ini!" seru si Gagak sambil bertengger di atas batu. "Ini daging kuda zebra yang masih segar!"

Walau bukan pemakan daging, si Burung Unta terheran-heran. "Bagaimana bisa?" katanya. "Bukankah bagian daging yang paling empuk dan segar biasanya jadi santapan hewan buas bertubuh besar seperti singa atau semacamnya?"

"Benar, tapi aku berhasil mencuri sekerat daging ini dari singa itu, mengandalkan kecepatan terbangku yang luar biasa. Hebat, 'kan?" Si gagak menepuk dadanya sendiri dengan sayapnya.

Si Burung Unta berdecak kagum. "Sungguh luar biasa! Kaumku kadang disebut-sebut sebagai salah satu pelari tercepat di daratan dan mampu menandingi cheetah, sebangsa harimau dan hewan tercepat di dunia. Tapi kami tak bakal bisa mencabik atau merebut daging itu dari satu ekor singa, apalagi lebih! A-aku jadi malu berhadapan denganmu, maaf ya!"

Dengan terburu-buru, si Burung Unta menurunkan lehernya yang amat panjang dan mencondongkan tubuhnya. Lalu ia menggali dan membenamkan kepalanya ke dalam tanah. Walau penyebabnya mungkin bukan malu, tindakan itu jadi penegasan karena ia sudah mengakuinya lewat kata-katanya tadi.

Si Gagak menggeleng sambil tertawa puas. "Haha, burung unta yang tubuhnya beberapa kali lipat lebih besar daripada tubuhku saja mengaku malu, apalagi saingan-sainganku yang lain."

Melanjutkan penerbangannya, si Gagak bertemu pula dengan beberapa hewan lainnya, seperti si Landak, si Burung Hantu dan si Jerapah. Kembali si Gagak membual tentang kehebatannya, memamerkan daging dan kulit zebra berbulu loreng hitam-putih sebagai buktinya. Reaksi untuk itu agak mirip. Si Landak bergelung seperti bola berduri, si Burung Hantu pura-pura tidur sore dan si Jerapah menjulurkan lehernya yang amat panjang, menyembunyikan kepalanya dalam rerimbunan daun lebat di atas pohon.

Seumur hidupnya, belum pernah si Gagak merasa sepuas ini. Ia terbang dengan anggun dan penuh gaya, mengira para pendengar tadi sungguh-sungguh kagum padanya.

Tiba di sarangnya, si Gagak tak segera menyimpan dagingnya. Kali ini, ia malah menjepit daging itu di paruhnya, memamerkannya pada hewan apapun yang lewat tanpa perlu membual dan menunggu reaksi dari mereka lagi. Itu tak penting lagi, pikirnya. Yang penting dia sendirilah yang terhebat.

Pokoknya, sepanjang sore ini, si Gagak jadi pusat perhatian seluruh penghuni hutan. Namun tak satupun hewan mendekat ke sarangnya sekadar untuk mengucapkan selamat.

Si Gagak mendengus sebal. Mungkin para hewan itu hanya iri saja padanya, pikirnya. Saat matahari hendak terbenam sepenuhnya, barulah ada seekor hewan berkaki empat yang datang dan berdiri persis di bawah pohon tempat sarang si Gagak berada. Saat si Gagak menengok ke bawah, barulah tampak jelas hewan itu adalah seekor musang.

Si Musang mendahului dengan berseru keras-keras, "Oooi, teman-teman semua! Si Gagak telah menipu kalian! Hanya ada dua cara agar ia dapat membawa pulang daging zebra segar dan besar itu! Ia bisa saja menunggu para singa selesai, lalu kebetulan menemukan irisan daging besar yang ditinggalkan para singa yang kekenyangan. Atau bisa saja ada singa baik hati yang memberikan sekerat daging itu pada si Gagak karena merasa kasihan!"

"Hei, aku tidak...!" Hendak protes, tanpa sengaja si Gagak membuka paruhnya lebar-lebar. Daging zebra yang digigitnya terjatuh dari atas pohon.

"Haha, kena kau!" Dengan amat cepat dan cekatan, si Musang menangkap daging zebra itu dengan moncongnya, lalu lari secepat kilat dan menyusup ke bawah semak-semak.

Si Gagak menukik, mengejar si Musang. Ia menoleh kesana-kemari, mencari-cari ke arah mana si Musang lari. Kurang hati-hati, si Gagak lantas menabrak batang sebuah pohon dengan amat keras.

Sebelum tubuhnya menghunjam tanah dan mati, si Gagak sempat berkata dalam hati, "Andai aku diam saja sejak berangkat pulang tadi, pasti sudah kusimpan daging kuda zebra itu untuk nanti."

Diadaptasikan dari sebuah dongeng rakyat.

EVERNA SAGA pandu.beliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang