Part 5

72 8 3
                                    

Sheranita Ruby melangkahkan kakinya menuju salah satu lukisan di depannya. Matanya menelusuri lukisan itu dengan seksama. Perasaannya tak menentu saat ini. Bahkan tiga cangkir kopi tak mampu menepis perasaan kacau balau dihatinya.

Aldric. Nama itu seolah-olah menghantuinya. Cara barista itu tersenyum, menatapnya tepat pada matanya, kata-kata penyemangatnya, semuanya membuat Ruby kacau balau. Seperti dinding tebal transparan yang dibangunnya ditembus begitu saja. Berbagai perasaan selain dingin, kaku, dan tenang, mendadak masuk melewati celah kecil yang dibuat Aldric.

Mata Ruby terus terpaku pada lukisan dihadapannya. Lukisan tercantik yang pernah ia buat namun tak pernah ditampakkan. Lagi-lagi berisi tiga orang perempuan, dengan senyum merekah, menggunakan gaun indah, dan sedang berangkulan. Senyum tipis menghiasi bibir pink pucat Ruby. Perasaan luluh dan terhipnotis memenuhi dirinya. Seakan-akan dia robot yang baru saja diberi nyawa.

Tidak. Ruby tidak boleh merasakan hal ini. Dia harus tetap dingin dan kaku. Lidahnya mendadak kelu mengingat betapa bahagianya dia saat lukisan di depannya jadi. Seakan-akan dihujam pedang, daerah di-dadanya nyeri. Nafasnya mendadak lebih berat. Kristal-kristal mulai memenuhi matanya. Tidak. Ruby tidak rapuh. Dia, kuat dan indah.

Dengan gerak cepat, ditengadahkan kepalanya, memaksa kristal-kristal itu masuk kembali. Matanya terbuka lebar. Mencegah kristal itu keluar dan turun membasahi pipinya.

Bahkan dalam sendirian pun dia enggan menunjukkan kerapuhannya.

Ruby menghentakkan kakinya dan meninggalkan kamarnya. Disambarnya kunci mobil dan tas, lalu berlari menuju parkiran. Dia butuh sesuatu.

***

"Hei, Aldric!" sapa Gian.

Yang disapa mendongak. Namun matanya masih terfokus pada buku bacaannya.

"Sejak kapan kau suka membaca?" tanya Gian penasaran.

Lagi-lagi yang ditanya tidak merespon. Hanya mengangkat bahu.

"Ada yang nyariin," kata Gian lagi

"Siapa?" kali ini suaranya keluar.

"Ruby," jawab Gian.

Yang diberitahu langsung mendongak dan membulatkan mata.

"Satu espresso, dan diantar,"

Aldric langsung bangkit dan membuatkan pesanan Ruby. Jantungnya berdetak cepat. Senyumnya tak hentinya merekah. Setelah selesai, tak lupa mengambil buku yang sedari kemarin dibacanya, langkah tegap itu meninggalkan tempat awalnya menuju tempat dimana gadis itu duduk.

"Nyari gue?" tanya Aldric.

Ruby mendongak. Tatapan sedingin es itu menusuk mata Aldric.

"Iya,"

Aldric duduk di depan Ruby. Matanya terus menatap wajah kaku itu.

"Aku mau minta bukuku," kata Ruby to the point sambil melirik buku ditangan Aldric.

"Oh, ini?" tanya Aldric sambil mengangkat buku milik Ruby.

Ruby mengangguk dan mengambil bukunya.

"Kenapa lo kaku banget sih?" tanya Aldric.

Ruby hanya memandang Aldric dengan tatapan kosong.

"Dibuku itu, lo lembut, terlalu lembut malah," kata Aldric jujur.

Terlalu lembut dan indah, tambah hati Aldric.

"Bukan urusanmu," kata Ruby dingin.

Diteguknnya kopi yang masih panas itu, lalu bersiap untuk bangkit meninggalkan Aldric.

"Kenapa lo hobi pergi gitu aja, sih?" tanya Aldric. Kini nadanya terdengat ketus dan kesal.

Bagai tersihir, Ruby kembali menegakkan tubuhnya.

"Saya tau kamu lembut," kata Aldric formal dan halus.

"Saya juga tau kamu berbeda,"

"Saya suka kamu,"

Ruby terkesiap. Belum lama mereka saling kenal. Hanya berjarak dua hari bahkan sejak perkenalan yang tak Ruby inginkan.

"Kamu seperti menyihir saya, kam-"

"Tidak," kata Ruby memutus perkataan Aldric.

"Maaf. Tapi, tidak," kata Ruby tercekat.

"Saya nggak seperti yang kamu pikir, dan nggak akan kayak gitu," detak jantung Ruby tak karuan.

"Tolong, anda terlalu banyak membaca buku saya. Saya mohon, jangan," kalimat Ruby terhenti. Jantungnya masih berdetak tak karuan.

Aldric terksesiap. Bahkan setelah ketahuan, gadis di depannya masih dengan kukuh mempertahankan bentengnya. Aldric tidak mengerti. Mungkin tidak akan pernah mengerti.

Ruby menyambar tasnya. Bukunya dimasukkan paksa kedalam tasnya. Kakinya melangkah dengan cepat. Lagi-lagi, Aldric ditinggal sendirian.

Miserable [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang