Part 6

70 10 3
                                    

Senja mulai menghiasi langit. Sepoi angin menerpa rambut hitam pemiliknya. Kakinya berdiri tegak diujung pantai. Menikmati tiap debur ombak yang menghantamnya. Atau debar jantung yang mengusiknya.

Gadis itu berpaling dan mencari tempat kering. Dibukanya buku catatannya. Matanya masih menerawang ke senja. Indah. Terlalu indah. Tangannya mulai mengguratkan sesuatu dihalaman kosong,

Senja.
Ombak.
Angin.
Dan debar jantungku.
Layaknya senja,
Indah, namun malu-malu.
Layaknya senja,
Indah, namun hanya sebentar saja.

Ditutupnya kembali buku itu. Dan bagai tertiup angin, secarik kertas jatuh dari sela-sela buku tersebut.

Kamu indah,
Namun mengapa enggan menunjukkannya?

Gadis itu tertegun dan kembali menatap mentari yang nyaris tenggelam. Layaknya senja. Indah, namun malu-malu. Dia beranjak pergi. Kali ini dia tau harus kemana.

***

"Bisa bertemu lagi dengan Aldric?" tanyanya sopan.

Barista yang bername tag Gian itu mendongak, lalu mengangguk. Baru berbalik badan, Aldric sudah berdiri tepat dihadapan Gian.

"Ada apa, Ruby?" tanyanya.

Dengan sedikit tertegun, Ruby melangkah pergi, diikuti Aldric.

***

Lebih mudah membawa satu hati, daripada ribuan keping kecilnya.

"Apa yang kamu tau tentang saya, Aldric?" tanya Ruby sambil menyesap kopinya.

"Kamu suka kopi,"

Ruby mengangguk.

"Gue nggak bisa jelasin selain itu," kata Aldric.

Lagi-lagi Ruby mengangguk. Asap kopi panasnya mengepul di hadapannya.

"Saya nemuin kertas ini diselipan buku saya," Ruby menunjukkan kertas yang tak sengaja ditemukannya.

"Gue yang buat," tanggapnya singkat.

"Saya mau kamu jelasin ini,"

"Apa yang harus gue jelasin? Udah jelas kan? Lo itu indah,"

"Kenapa kamu..,"

"Kenapa lo nutupin keindahan lo?" tanya Aldric memotong ucapan Ruby.

"Kamu terlalu banyak membaca tulisan saya," kata Ruby pelan. Nyaris seperti bisikan.

Ada keheningan setelahnya.

Hanya ada debar jantung yang saling beradu. Pun pula nafas panjang dan pendek tak beraturan. Ruby berusaha menetralkan perasaannya. Aldric berusaha memahami gadis di hadapannya. Pada intinya, mereka sama-sama sedang mencoba memahami.

"Saya nggak pernah ngerasain ini sebelumnya," kata Ruby buka suara.

Aldric hanya menatapnya bingung.

"Saya ngerasa, entah, aneh,"

"Gara-gara gue?"

Ruby mengangguk.

"Bohong kalau lo nggak pernah ngerasain perasaan selain datar dan dingin,"

Ruby menghela nafas panjang.

"Kamu terlalu banyak membaca tulisan saya," bisik Ruby.

"Bener. Dan gue jatuh cinta saa tulisan lo," jawab Aldric gamblang.

Ruby mendongak. Manik matanya bertemu tepat pada warna hitam mata Aldric. Layaknya sengatan, perasaan itu langsung menyengat jantungnya.

"Lo hidup di situ, ditulisan lo,"

Ruby mengalihkan pandangannya.

"Kenapa kamu selalu membuat saya tidak nyaman?"

"Nama lo, Ruby kan?"

Ruby mengangguk. Mata Aldric menatapnya tepat pada pusat mata Ruby.

"Indah kan?" tanya Aldric.

"Apa?" tanya Ruby.

"Tutup mata lo,"

"Tarik nafas dalam-dalam, rasain tiap detak yang ada,"

Ruby melakukannya. Menikmati setiap debar jantungnya. Menikmati ritme detak jantungnya. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu, tanpa sempat mengeluarkannya, sesuatu menempel ditangannya. Lalu pipinya. Tangan Aldric, bisiknya.

Tangan itu masih berada dipipi Ruby. Mengusapnya perlahan. Membuat Ruby tidak berani membuka mata.

"Bernafaslah, Ruby," suara Aldric berbisik pada telinganya

Sebuah nafas panjang akhirnya lolos dari paru-parunya.

"Indah, kan?" kata Aldric masih sambil berbisik.

---

Lalu Aldric terbangun dari mimpinya.

shit, makinya.

Miserable [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang