Flash disk

350 27 2
                                    

KLIK...

Pistol tidak meletus sama sekali meski aku telah sempat berdoa dan menutup mata untuk akhir hayatku. Dia melihat pistol ditangannya dengan ekspresi tak percaya dan aku bisa melihat itu dari balik kacamata maskernya. Dia mencoba kembali menembakku dan kali ini dia menarik pelatuknya berkali-kali. Namun hanya bunyi klik teredam yang muncul, tak lebih dari itu.

Dia memiringkan kepalanya sedikit seolah berkata 'mau bagaimana lagi kawan', dan kemudian berenang cepat kembali ke lift meninggalkanku yang batal tewas tertembak.

Ada banyak perasaan lega, namun semua kelegaan itu lenyap saat kurasakan dadaku terasa sesak dan nyeri. Aku harus menghisap udara bagaimanapun caranya. Tidak bisa tidak.

Udara.... Udara.... Aku butuh udara.

Kekalutanku berkurang dan seketika satu ide muncul saat aku melihat tabung oksigen orang itu yang membelakangiku. Sekarang aku tahu cara untuk kembali bernapas.

Aku berenang sekuat tenaga dan setengah berlari mengejarnya yang telah berhasil masuk kedalam lift. Jarakku dengan pintu lift hanya tinggal 2 meter lagi dan aku sempat melihat cairan warna merah darah yang keluar dari lift, sepertinya luka tembakan Benny cukup dalam.

Aku memegang sisi lift dan menarik tubuhku, namun ternyata dia telah menungguku dan bahkan menyiapkan satu tendangan untukku.

Dia mencoba menendang, tapi aku berhasil menghindar kekiri dan justru berbalik menyikut pipi kirinya dengan siku kananku.

Kena...

Tapi aku yakin, sikuku tidak menyakitinya. Sikutku hanya cukup untuk membuatnya terkejut, dan itu memberiku keuntungan.

Dengan cepat aku menarik maskernya dan menghisap udara sebanyak-banyaknya sebelum kembali bergumul. Dia tersentak sejenak saat aku menarik maskernya. Dengan satu tarikan pada selang masker, benda itu kembali ketangannya. Tidak apa-apa bagiku, setidaknya aku punya udara yang cukup untuk kembali merebut paksa.

Sekali lagi dia mencoba menendangku, namun air membuat gerakannya melambat dan aku berhasil menangkap kakinya. Kepalan tanganku hampir saja mengenai hidungnya jika Ger dan si wanita tidak melerai dan menarik kami agar saling menjauh secara tiba-tiba.

Aku mencoba meronta, begitupun si gendut. Tapi Han berdiri diantara kami yang mencoba memisahkan kami memberi kode untuk melihat ke arah lampu indikator beban. Kami serentak melihat kearah yang ditunjukkannya.

Hijau... bukan merah.

Aku benar-benar lupa bahwa air mengurangi beban kami.

Aku melepaskan diri dari si wanita, begitupun si gendut yang melepaskan diri dari Ger. Dia memberi isyarat tangan seolah-olah mengatakan 'kita selesaikan urusan ini nanti'. Yaaah, dia mendahuluiku mengatakannya.

Aku menghilangkan perasaan kesalku dan menatap lampu indikator hijau. Kami menunggu didalam, dan sembari itu aku yang berada di posisi paling kiri lift melihat Benny yang berdiri di sudut kanan sedang menahan sakit di lengan atasnya. Dia memandangku dengan tatapan yang tidak kusukai dari balik maskernya, dan aku menatapnya dengan raut wajah menyesal.

Untuk sejenak, aku kembali memandang ke luar lift seperti menunggu orang lain yang akan masuk meski aku tahu tidak akan ada lagi yang datang kesini. Dan itu sangat membosankan.

Hanya beberapa detik kemudian, sesak napas yang kurasakan mengingatkanku kembali untuk menghisap oksigen. Aku memberi isyarat pada si wanita, dan dia tanpa berat hati melepas maskernya sesaat untuk kukenakan. Sekali lagi, aku menarik napas panjang yang sangat melegakan.

in ROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang