Dia yang di balik pintu

971 41 3
                                    

Aku mendengar suara seseorang memutar kunci pintu dari luar. Tanpa menunggu lama, aku bangkit dari tempat tidurku dan membiarkan tempat itu berantakan sisa tidurku tadi malam. Beberapa biji kurma yang berserakan di meja kugenggam untuk kubuang ke tong sampah dimanapun nanti aku menemukannya.

Pintu terbuka kearah luar tepat setelah aku berdiri dibaliknya, dua orang petugas berpakaian hitam ketat dan mengenakan masker gas masuk sambil menutup pintu kembali. Mereka mencoba memakaikan aku topeng karet berwarna seperti warna kulitku yang mampu menutup seluruh kepalaku dengan ukuran yang terlihat sangat pas, bahkan mungkin ketat.

Aku tersentak kaget sesaat dan mencoba menepis, "Apa yang kalian lakukan?"

Salah seorang diantara mereka yang bertubuh tinggi mendesah panjang, "Apa kau harus selalu terkejut seperti ini?"

Aku terdiam sejenak, mencoba mengingat apakah setiap harinya hal ini dilakukan, meski aku tahu itu tak ada gunanya. Aku akhirnya membiarkan mereka memakaikan topeng karet yang terasa sangat ketat di kepalaku itu. Syukurlah, lubang udara berbentuk seperti saringan teh yang tebal di bagian hidung dan mulut memberiku akses untuk bernapas meski terasa sesak. Mataku mencoba memperhatikan sekelilingku lewat kaca plasik bening di bagian mata topeng yang kukenakan. Dan jujur saja, itu sangat tidak nyaman.

"Kenakan ini!" Perintah mereka hampir bersamaan saat si pendek memberikanku sebuah pakaian yang terbuat dari karet dan kutahu pasti sangat ketat yang fungsinya menutupi seluruh tubuhku. Aku tidak menolak karena tidak akan ada gunanya.

Tanpa pikir panjang aku memakainya dari atas. Dan benar saja, baju itu sangat ketat dan menekan bagian dada dan perutku hingga membuatku semakin sulit bernapas.

"A... aku tak bisa bernapas." Keluhku sambil jatuh berlutut.

"Kau akan terbiasa, tahanan."

Aku mendengar mereka membuka masker mereka dan diikuti helaan napas yang sangat lega. Hanya saja, aku tak mampu mengangkat kepalaku yang masih menghadap ke lantai metal. Suara napasku terasa sangat berat dan membuat diriku sendiri ketakutan.

"Aku benci masker ini." gumam si pendek.
"Berharaplah kau tak harus memakainya lagi besok, kawan."
"Yaah, aku bahkan bertaruh akan ada tambahan makanan ikan untuk besok."

Mereka tertawa kecil, dan aku yakin mereka mengharapkan aku terhukum mati hari ini. Sungguh aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku, ingatanku tentang almarhum istriku pun melemah dan mulai menghilang. Dalam ingatanku itu, wajahnya yang harusnya terlihat jelas menjadi samar dan tertutup kabut tipis. Namun aku sadar bahwa bukan saatnya untuk mengingat itu sekarang.

Ketika napasku mulai teratur, aku bangkit dan memandang kedua orang di depanku itu. Wajah mereka sangat biasa, dan akupun tak tertarik mengingat setiap bagiannya. Toh, aku akan lupa delapan jam lagi.

"Silahkan." Kataku.


Mereka memborgol tangan dan kakiku dengan rantai yang panjang. Cukup panjang untuk bisa membuat tanganku bebas berayun, dan membuat kakiku tetap berjalan santai tanpa tertahan. Lalu mereka menggiringku berjalan di antara mereka berdua.

Orang pertama yang ingin kulihat adalah penjaga pintuku. Seakan dia tahu apa yang kupikirkan, dia membuka topeng logam yang dikenakannya di bagian wajah sebelah kanan.

Tepat ketika aku melihat wajahnya, aku tersentak kaget hingga berhenti berjalan. Hampir separuh wajahnya rusak seperti bekas terbakar. Tidak, tidak. Itu bukan bekas terbakar sama sekali, itu seperti bekas membusuk yang sangat parah hingga terkelupas dan membuka mata kanannya dengan lebar.

"Astaga. Apa yang terjadi dengan wajahmu?'
"Apa kau harus menanyakannya terus-menerus?"


Aku tidak bisa menjawab, dan dua pengiringkupun tidak memberi waktu untuk diam berdiri tegak disana.

in ROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang