Pria yang dipaku

316 20 6
                                    

"I... itu... golok. Golok yang besar... sangat... sangat besar." suara Han terdengar sangat bergetar penuh kengerian. Kengerian yang dirasakannya itu menular pada kami. Yaaa, pada kami semua. Dan aku bisa melihat ketakutan dari bahasa tubuh mereka. Termasuk diriku sendiri

"Dan tulisan itu..." si wanita memberanikan dirinya mendekat meski sangat perlahan. Matanya sama sekali tak menatap Ger yang seluruh pakaiannya telah berubah merah gelap. Matanya menatap tulisan itu yang sepertinya lebih menakutkan baginya, "Apa... apa yang... se... sekarang bagaimana?"

"Lari!" kataku dengan suara pelan.

Mereka semua memandang kearahku dan aku melihat kebingungan di mata mereka.

"Aku tidak tahu dengan kalian." Aku menatap mereka satu persatu, "Tapi aku harus pergi. Bukankah kalian ingin tahu alasan kalian ditahan di dalam sana?" Aku memandang mereka semua bergantian berharap semuanya menyetujui ideku.

"Apa maksudmu?" tanya Han dengan raut wajah heran, dan itu justru membuatku semakin penasaran. "Jangan katakan kau benar-benar tidak tahu alasanmu berada didalam sana."

"Aku tidak akan memaksakan lari jika aku tahu."

"Kau!!" Si wanita mendekatiku. "Apa yang terakhir kau ingat?"

"Apa kau harus membahasnya sekarang?" Nada suaraku meninggi. "Putuskan apa kalian akan tetap disini atau lari. Dan aku memilih lari."

Suara kerikil berjatuhan dari puncak tebing membuat kami sedikit terkejut dan dengan reflek mendongak ke atas. Namun pandangan kami masih samar tertutup beberapa kabut awan.

Aku melihat Han berjalan mundur menjauhi tebing dan menatap keatas. Tubuhnya masih gemetar ketakutan dengan mulut terbuka seolah-olah akan berkata sesuatu yang tidak bisa dikatakannya. "A... ada... ada... ada yang turun."

"Aku tidak bisa menunggu." Kataku memecah kekalutan pikiran mereka yang masih memaksakan penglihatan mereka keatas tebing. Kemudian, aku berbalik dan berlari kecil kearah ujung jalan yang dipenuhi pepohonan rindang.

Hanya berselang beberapa saat kemudian, aku mendengar langkah mereka mengikuti hingga akhirnya mereka tepat dibelakangku. Keinginan mereka untuk bebas sepertinya lebih besar dibandingkan ancaman kematian.

Aku mempercepat lariku, begitupun dengan mereka. Kami berlari dan sesekali meloncati tulang belulang yang berserakan menelusuri jalanan tanah berwarna hitam yang sangat rata tanpa gundukan sama sekali. Sebuah desain jalanan yang sangat rapi.

Namun meski aku berlari cepat, aku masih bisa menatap sekelilingku. Aku memperhatikan rumah-rumah tradisional yang kulewati dengan ukuran yang hampir mirip. Sesekali aku menatap satu persatu tulang belulang yang kuloncati. Tidak ada bekas tembakan sama sekali pada tulang-tulang itu, dan itu sungguh mengherankan.

Awalnya aku mengira mereka mati saat membela wilayah mereka dari tentara modern. Namun sekarang hipotesaku batal. Pertanyaannya sekarang adalah, kematian macam apa yang membunuh mereka hampir secara bersamaan?

BRUAK...

"Akh...."

Aku menghentikan langkah kakiku tepat setelah suara itu terdengar, aku membalikkan tubuh melihat siapa yang terjatuh.

Han!! sudah kuduga.

Aku, si wanita, dan Benny berbalik cepat untuk membantunya berdiri.

"Kau tidak apa-apa?" tanya si wanita sambil merendahkan tubuhnya dan mengulurkan tangan.

Han yang terduduk di tanah tidak menjawab sama sekali. Tubuhnya gemetar dan matanya melotot menatap ke arah gang kecil sebelah kanannya. Telunjuknya diarahkan kesana agar kami melihat apa yang dia lihat.

in ROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang