{lima}

150 10 0
                                    

Kita baru aja sampai di hotel bintang 3 ini. Hotelnya gak jelek sih, yah cukup sederhana lah. Kamar gue bertiga dengan Vio dan Sandra, sedangkan Adri dengan Yo. Dan ternyata kamar kami ada connecting doornya.

"Gue tidur dulu ah," Adri merebahkan dirinya di atas kasur besar ber-sprey putih. Ia cukup kecepean karena menyetir terus.

"Sumpah ya, Dri. Anterin kita belanja kek!" Sandra menggerutu sambil merapihkan tas bajunya.

"Yo aja noh," Adri tidak bergeming dari posisi pewe-nya di atas kasur.

"Gue navigator juga cape. Lu pada 'kan bisa nyetir, ngapain minta anterin?" Yo melemparkan diri di samping Adri.

"Sakit, Pea!" Adri menggosok tulang rusuknya yang kena sikut Yo. Yo hanya mengangkat tangannya lalu memukul sikunya, "nakal!" Lalu kembali menutup mata.

"San, kita istirahat juga aja. Ntar malem baru kita cari-cari makanan dan oleh-oleh," Ghea mengusulkan. Sebenarnya ia cukup lelah juga.

"Call!"

Dan mereka semua terlelap tanpa ada perasaan segan diantara mereka.

--

"Gak tidur lu?" Suara seseorang membuyarkan lamunan gue.

Gue menengok kebelakang dan menemukan orang yang namanya berada pada urutan terakhir daftar orang yang gue ingin bisa menghabiskan waktu bersamanya.

"Udah bangun," gue menjawab singkat lalu kembali melihat ke depan. Pemandangan dari hotel ini emang cuman kota, tapi cukup beda dari Jakarta.

"Sebenernya ada hal yang pengen gue omongin sama lo dari lama," kalimat itu membuat gue terbeku seketika. Gue gak suka saat seperti ini.

"Gue mau mandi dulu," gue berusaha kabur. Gue selalu berusaha kabur dari hal yang gue pikir akan menganggu gue. Gue gak berani berhadapan dengan kenyataan pahit. Walaupun gue seringkali dihadapkan dengan kenyataan seperti itu.

Sebelum gue sempat keluar dari balkon kamar, dia menahan tangan gue. Tangannya berkeringat. Dia nervous?

"Dengerin gue dulu. Karena ini akan menjadi pertama dan terakhir kalinya gue ngungkapin ini," suaranya terdengar... ragu namun tegas. Seolah ia telah mempertaruhkan hidupnya hanya untuk ini.

Dan entah kenapa, kaki gue gak mau bergerak dari situ.

Dan entah kenapa, tangan gue gak mencoba lepas dari genggamannya.

"Gue... minta maaf. Buat semua yang gue lakuin ke lo dulu. Gue emang pengecut dulu, Ghea. Lo mau maafin gue?" Gue tercekat. Walaupun dalam hati gue udah menduga-duga hal ini akan terjadi, gue tetap berharap ini gak terjadi.

Perkataan yang pendek namun bisa menimbulkan efek besar terhadap diri gue itu, mengingatkan gue akan diri gue selama ini. Selama setahun, dia udah jadi orang yang paling gue benci. Alasannya? Karena dia begitu pengecut, dia ninggalin gue yang lagi butuh pertolongan, tapi... hanya gue yang tau betapa jahatnya dia. Semua orang lain menyukai dia. Gue gak suka akan fakta itu. Gue gak pernah mencoba melihat sisi baik dari dirinya, ataupun mencoba melihat dari sisi lain akan perbuatan dia. Gue hanya berpikir dia jahat, pengecut.

Dan baru detik ini gue bisa melihat sisi baik dari dirinya. Sesuatu terasa terangkat dari diri gue. Beban dan dendam yang selama ini gue genggam rapat-rapat, seakan pergi begitu aja.

Tiba-tiba gue teringat waktu dia mengalihkan perhatian orang-orang yang mau jahatin gue, gue teringat walaupun gue udah jahat sama dia, dia tetap baik sama gue. Baru saat ini gue merasa kalo apa yang dia lakukan dan ucapkan bukan drama semata. Bukan peran yang sedang ia mainkan.

"Ghe sampe kapan mau diem?" suaranya membangunkan gue.

"Ghe jangan inget-inget masa lalu terus," suaranya seperti membuat kebencian gue terbawa angin malam.

"Maafin gue, Ghea," dan menggantikan kebencian itu dengan rasa menyesal.

Tanpa gue merasa, kepala gue mengangguk kecil. Dan gue langsung berlari meninggalkan dia.

Karena rasa malu yang sangat besar menghantam gue dengan keras.

--

Gue menutup connecting door yang terbuka. Lalu gue berjalan pelan ke arah Yo. Gue menepuk pantatnya dengan keras.

"Yo," namun memanggilnya dengan suara pelan.

Tapi Yo gak bangun juga.

"Yo!" Sekarang gue menabok punggungnya dengan cukup keras.

Dan Yo tetap gak bangun.

"AVIYOR! BABI BANGET SIH!"
Gue terdiam bentar. Berasa ada yang salah.

"MAKSUD GUE, KEBO BANGET SIH!" Gue mengulang perkataan gue.

"Anjir berisik banget. Bisa diem gak?" Yo membuka matanya sedikit lalu menutup matanya lagi.

"YO! BANGUN GAK LU?!" Gue mengguncang badan gue.

Dan sepertinya gue gak sadar kalo suara gue dari tadi juga mengguncang mimpi orang lain.

"ADRI! JANGAN GILA!!" Suara marah dua perempuan terdengar dari sebelah.

Kok masih denger aja ya mereka? Perasaan tadi connecting doornya udah ditutup.

Gue memandang ke arah connecting door dan menemukan sesuatu yang membuat jantung gue seakan berhenti berdetak.

Ghea
Amadila
Utama

"Eh, Ghe. Sorry, keganggu ya?" suara gue bener-bener mengecil.

"Ke kolam renang yuk? Selesaikan apa yang harus diselesaikan," Ghea tersenyum kecil.

Gue melongo.
Dan secepat kilat gue langsung menyambar handphone dan berdiri di hadapannya.

"Ayuk," gue nyengir lebar.

--

"Semua!! Bangun!!" Yo berteriak dari kamarnya sambil mencari-cari panci.

"Hotel mana yang gak punya panci?" Yo menghela napas dan akhirnya menyerah dalam pencariannya.

"Salah, Yo. Hotel mana yang punya panci?" Sandra yang ternyata sudah bangun mendekati Yo yang sedang duduk di meja bundar kecil.

"Kayak gak pernah ke hotel aja lu, San. Hotel begini masa gak punya panci? Gimana orang mau masak indomie?" Yo menggerutu sambil mengaduk kopinya. Sandra duduk di hadapan Yo lalu ia menyambar kopi Yo.

"It's okay. Nih masih bisa masak air," Sandra mengangkat gelas kopinya dan menaik-naikkan alisnya.

"Gak bisa, San. Itu poci yang buat masak airnya gak mau jalan. Kayaknya gue harus lapor ke resepsionis,"

"Terus ini gimana masak airnya?"

"Alternatif. Pake air shower yang panas. Yang penting 'kan airnya panas, berarti kumannya udah mati. Jadi aman bagi tubuh kita," Yo nyengir lebar sambil matanya masih terpaku pada layar handphonenya.

Mata Sandra melebar.
Dan mulutnya pun melebar, menumpahkan kopi yang tadi hampir ditelannya.

"SANDRA! JADI CEWEK JOROK BANGET SIH?!" Yo cepat-cepat berdiri dari bangkunya. Namun ternyata karpet di lantai kamar itu tidak mendukungnya melakukan gerakan itu sehingga bangkunya stuck. Tapi Yo masih saja mencoba untuk memundurkan bangkunya.

"Inikan salah lu! Kenapa gak bil--" perkataan Sandra terpotong dan digantikan suara tawa karena apa yang terjadi di depannya ini.

Yo mengusap-ngusap pantatnya yang sakit. Bangkunya nyungsep ke belakang. Pemandangan yang nilai estetikanya nol.

"Mampus! Sukurin lu!" Lalu Sandra berlari pergi.

**
Hai, People!
Long time no update nih
Aku harap kalian masih mau baca critaku ini.
Bubay semuanya!

xoxo

*call = kayak setuju gitu

Between UsDonde viven las historias. Descúbrelo ahora