hari kedua

15.5K 1.1K 46
                                    

Ku terpikat pada tuturmu

Aku tersihir jiwamu

.

.

.

Kami tidak banyak bicara kemarin. Suara yang terdengar di antara kami hanya dentaman buku yang beberapa kali tergelincir dari tanganku atau sepatah kata perintah yang dia ucapkan. Selain itu, perpustakaan senyap. Dia terlalu sibuk melaksanakan hukumannya.

Dan aku terlalu sibuk memperhatikannya.

Kesalahan yang ia lakukan adalah membolos pelajaran. Aku tahu itu dari papan karton yang dikalunginya, yang bertuliskan; Saya, Ezra Nugraha, tidak akan bolos lagi. Berkali-kali aku mencuri pandang ke arahnya agar bisa membaca tulisan itu. Berkali-kali pula pandangan kami bertemu, membuatku menunduk menyembunyikan mukaku yang merah padam. Tidak pernah aku berada sedekat ini dengannya.

Selama ini, aku hanya puas memandanginya dari jauh.

Dia, Ezra Nugraha, adalah kakak kelas satu tingkat di atasku. Aku hampir hafal semua tentang dia. Selain susah bangun pagi, yang mendarah daging di dalam diriku adalah mengamatinya. Segala sesuatu tentangnya selalu menarik perhatianku.

Dan semenjak tahu Ezra juga dihukum bersamaku, aku jadi semangat untuk membersihkan perpustakaan. Aku tidak lagi merutuki Pak Sugi karena telah membebankan hukuman ini. Justru aku ingin berterimakasih pada beliau.

Dan kalau bisa, aku ingin memperpanjang masa hukuman ini.

.

.

.

"Lo adek kelas gue waktu SMP, kan?"

Aku menoleh pada Ezra yang sibuk menata buku-buku ensiklopedia di rak. Ia memecah keheningan di antara kami dengan pertanyaan barusan. Aku tidak kuasa menahan senyum bahagia. Yes! Kak Ezra ingat gue!

"Iya, Kak," jawabku. "Kak Ezra dulu ketua OSIS, kan?" Aku membuka topik pembicaraan, berharap bisa berbicara dengannya lebih lama.

Ia mengedikkan bahu. "Ya, gitu deh," jawabnya seadanya.

Aku mengangguk-angguk kecil, sambil berusaha mencari topik pembicaraan yang lain. Kelihatannya dia tidak suka membicarakan perihal dirinya yang mendapatkan jabatan ketua OSIS sewaktu SMP dulu. Kelimpungan mencari bahan pembicaraan, aku malah duduk memangku dagu sambil memperhatikan gerakan tangkasnya membersihkan rak berdebu di samping rak ensiklopedia-ensiklopedia yang tadi disusunnya.

Papan karton yang sama masih mengalungi lehernya. Sesekali papan itu mengayun, saat ia menunduk terlalu dalam. Kadang ia memutar karton itu ke punggung, ketika benda itu dianggap mengganggu. Seperti saat ini, aku bisa membaca dengan jelas tulisan di papan karton itu karena benda tersebut terpampang dengan jelas di punggungnya.

"Err—Canda, kan?" tanyanya tiba-tiba. Ia menoleh dan menatapku, membuatku mendadak salah tingkah. "Lengkapnya? Ashanda, ya?"

"Vashanda, Kak." Aku memasang senyum, yang kuharapkan tidak terlihat tolol di matanya.

"Oh iya, Vashanda. Sorry gue lupa," ucapnya sembari sibuk menurunkan buku-buku tua dari rak berdebu untuk dibersihkan.

"Panggil Canda aja, nggak papa," balasku.

Panggil Sayang juga tidak masalah.

Eh, tapi nggak boleh, ya?

"Oke. Canda." Dia menunduk untuk untuk mengambil kemoceng yang terpatri di lantai. "Lo sibuk ngapain disitu, Canda?"

Jatuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang