hari keempat

10.4K 953 45
                                    

Katanya cinta memang banyak bentuknya

.

.

.

Aku duduk di meja baca, membaca ulang buku Biologiku. Ulangan memang sudah dilaksanakan tadi, tapi aku yakin seribu satu persen akan remedial. Pasalnya, bukuku baru dikembalikan oleh Andini tadi pagi, dengan senyuman tanpa dosa di wajahnya. "Gue yakin lo pasti bisa kok. Penulis dongeng, kan, harus jago Biologi." Begitu katanya sambil berlalu dengan enteng.

Baik banget, kan, Andini?

Waktu ulangan tadi, Bian sudah berusaha mati-matian menyalurkan jawaban untukku. Tapi apa boleh buat, Bu Dian memang sangat ketat saat mengawas ulangan. Jadilah aku hanya mengumpulkan selembar kertas berisi jawaban hasil karanganku sendiri. Seorang penulis dongeng harus pintar mengarang, kan?

"Belum mulai?" tanya Ezra, sembari meletakkan tasnya di meja. Akhir-akhir ini, aku selalu mendahuluinya sampai di perpustakaan. Ia meletakkan ranselnya di dekat tasku, di atas meja baca.

Aku hanya menggeleng pelan, seraya menutup buku Biologiku. "Yuk," ajakku, seraya bangkit dari tempat dudukku dan berderap ke rak buku paling lapuk yang berada di dekat jendela.

Ezra mengikutiku dari belakang. "Belajar apa?" tanyanya tiba-tiba

Aku mengernyit. "Hah?"

"Itu." Ia menunjuk buku yang kutaruh di atas meja dengan dagunya. "Belajar apa tadi?"

"Oh, Biologi," ucapku sekenanya.

Ezra mengangguk-angguk pelan. "Ulangan?" tanyanya lagi, sembari mulai menurunkan isi rak lapuk itu. Ternyata isinya buku-buku latihan soal dari tahun ke tahun, lengkap dengan pembahasannya. Aku menatap buku-buku itu nanar selagi bergidik ngeri.

"Persiapan remed." Aku diam di tempat, memperhatikan Ezra menurunkan setumpuk buku yang kertasnya sudah mulai menguning. "Gue yakin seribu persen bakal remed."

"Gue juga langganan remed Biologi," tanggap Ezra seraya melirikku sepintas. "Sama kok, kita."

"Serius, Kak?" tanyaku tidak percaya. Pasalnya, jika dilihat kelancarannya mengajariku Kimia kemarin, rasanya tidak mungkin seorang Ezra tidak jago pelajaran-pelajaran eksak.

Ezra mengangguk. "Kalo Biologi, gue angkat tangan. Nggak ngerti lagi," tukasnya, sementara tangannya lihai menumpuk buku di lantai. "Tunggu aja di kelas dua belas lo belajar metabolisme. Bikin botak."

Aku tersenyum kecil mendengarnya mengeluh. "Kalo nggak mau belajar Biologi, ngapain masuk IPA?" ucapku iseng, membalikkan pertanyaannya padaku tempo hari.

Ezra lantas berhenti sejenak dari aktivitasnya, lalu memandangku. Seulas senyum terukir di bibirnya. "Untuk menggapai langit yang lebih tinggi, ingat?" ucapnya.

Keheningan mengambil alih suasana di sekitar kami untuk sesaat. Ia kembali menurunkan buku-buku usang di rak lapuk itu, sementara aku berderap ke meja Ibu Penjaga Perpustakaan untuk meminta kemoceng.

Oh, iya. Selama setahun belajar disini, aku tidak pernah tahu nama Ibu Penjaga Perpustakaan. Jadi kupanggil saja Ibu Penjaga Perpustakaan.

"Kak," panggilku, membuat Ezra menoleh sembari mengangkat sebelah alisnya, bertanya Apa?. "Kak Ezra buat salah apa, sih, sampai dihukum disini?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja. Aku tahu kesalahannya adalah membolos pelajaran—seperti yang tertera di papan karton yang ia kalungi di lehernya. Tapi bukan itu yang ingin aku ketahui. Aku ingin tahu pelajaran apa yang tidak diikutinya, alasannya membolos, teman-teman yang bolos bersamanya. Hal-hal seperti itu.

Jatuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang