hari terakhir

12.6K 1K 179
                                    

Ada ruang hatiku yang kau temukan

Sempat aku lupakan, kini kau sentuh

.

.

.

Ini hari Sabtu. Hari klub dan ekstrakulikuler. Hari yang seharusnya menjadi hari bebas untuk murid-murid sepertiku—yang tidak mengikuti klub atau ekstrakulikuler apapun. Tapi aku masih di sini, di balik meja administrasi perpustakaan, menyusun daftar kartu peminjaman agar sesuai dengan urutan abjad. Saat sampai di abjad E, tanganku tergelitik untuk mencari nama Ezra. Tapi tidak kucari, tentu saja, karena aku akan terlihat seperti penguntit gila yang terobsesi.

Omong-omong tentang Ezra, sekarang dia sedang on air di radio sekolah, sebagai guest minggu ini yang merupakan salah satu program kerja klub broadcasting yang featuring dengan OSIS bidang humas. Aku tersenyum mendengar suara khasnya yang menyapa telinga saat pertama kali mengudara. "Tes. Tes. Ini kedengeran satu sekolah ya, Ra?" ucapnya sebagai kalimat pertama, dan bukannya menyapa seperti yang pada umumnya orang lakukan saat mengudara di radio untuk pertama kalinya.

Namira, penyiar tetap radio sekolah, terbahak karena ucapan Ezra. "Kedengeran dong, Kak, namanya juga radio."

Aku bisa membayangkan wajah Ezra sekarang—dia pasti sedang tersenyum selebar kuda dan mengusap tengkuk karena salah tingkah. Ah, lucunya. Seandainya dia ada di sini sekarang, pasti—

Brak!

Lamunanku buyar seketika saat pintu perpustakaan menjeblak terbuka. Aku berdiri dari balik meja administrasi, melihat siapa yang membuka pintu dengan keras begitu.

"Oh, maaf, Bapak kira nggak ada orang," ucap si pembuka pintu yang ternyata adalah Pak Yudi, guru Olahraga. "Abis Bapak daritadi ketok-ketok, nggak ada yang nyahut."

"Ini perpustakaan, Pak, kalau mau masuk nggak perlu ketok-ketok segala, kali." Aku mendengus geli. Pak Yudi ini aneh. Perpustakaan, kan tempat umum, masa iya perlu mengetuk pintu dulu untuk masuk ke tempat umum?

"Ibu Melly nggak ada, ya?" tanya Pak Yudi sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari sosok yang bernama Ibu Melly itu.

"Ibu Melly?" ulangku. Otakku berputar cepat mencari nama itu. Namun nihil. "Siapa, ya?"

"Ckck, kamu ini, perlu MOS ulang." Pak Yudi menggeleng-gelenge pelan. "Ibu Melly, penjaga perpus."

Whoa. Setelah bersekolah selama setahun di sini, aku baru tahu kalau Ibu Penjaga Perpustakaan punya nama. Ibu Melly. Baik, akan aku catat nama itu di kepalaku baik-baik.

"Bapak ngapain nyari-nyari Ibu Melly?" Aku melirik guruku itu sekilas, lalu menangkap gelagat salah tingkahnya. Aku menahan tawa karena itu.

"Ngapain kamu nanya-nanya," ujarnya, menampik salah tingkahnya sendiri. "Kamu pasti nggak tahu nama Bapak."

"Tahu dong, Pak Yudi," ucapku mantap.

"Nah, kan, kamu emang perlu MOS ulang," tukas Pak Yudi—atau yang kupikir adalah Pak Yudi. "Nama Bapak Ludi, bukan Yudi."

"HAH?" Mataku melotot. "Se–serius, Pak?"

Aku meringis malu—malu karena kemantapanku bicara tadi; malu karena telingaku yang selama setahun ini menyangkanya Pak Yudi; malu karena aku memang memalukan. Ternyata aku memang separah ini. Pantas saja Bian gemas ingin menjedotkan kepalaku ke tembok.

"Bercanda," kata Pak Guru Olahraga itu yang kini sudah berdiri di ambang pintu, bersiap untuk pergi. "Nama Bapak Yudi kok, bukan Ludi."

Sialan, Pak.

Jatuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang