Ku harap kau tahu bahwa ku terinspirasi hatimu
.
.
.
Hari ini, aku datang ke perpustakaan lebih cepat dari Ezra. Sambil menunggunya, aku membaca buku Biologiku untuk persiapan ulangan harian besok. Perkataan Ezra kemarin sedikit banyak memengaruhiku, membuatku mulai membenah diri ke arah yang benar.
"Pencitraan lo, Nda," komentar Bian, yang siang ini ikut bersamaku ke perpustakaan. Ledakan tawa cempreng ala Mak Lampir mengikuti ucapan Bian itu. Siapa lagi kalau bukan Andini.
Mereka berdua ini partner-in-crimeku sejak kelas sepuluh. Andini, si Mak Lampir yang bikin cowok-cowok bertekuk lutut. Wajar, sih, mengingat wajahnya yang sebelas-dua belas sama Cha Eunsang dalam drama The Heirs. Ketawa khasnya sekalipun tidak membuat cowok-cowok ilfeel terhadapnya. Justru mereka berpendapat bahwa ketawa khas itu adalah bagian dari keunikan Andini. Hih ngeri. Tapi sampai sekarang, tidak ada satupun yang berhasil menaklukkan hati temanku ini.
Tidak ada kata jaim di dalam kamus Andini. Itulah yang membuatku nyaman berteman dengannya—dia tidak palsu.
Yang satu lagi, Febrian alias Bian. Ngotot pengin dipanggil Febri karena menurutnya, nama Bian terlalu babyish. Padahal nama itu sangat cocok untuknya. Perlu kuakui bahwa di antara kami bertiga, Bianlah yang paling lurus.
Namun selurus apapun Bian, ia tidak akan pernah terlihat lurus jika diapit oleh aku dan Andini.
Aku dan Andini sama-sama langganan keluar-masuk BK. Aku karena paling rajin mengisi Daftar Siswa Terlambat dan Andini karena pelanggarannya yang juara; mulai dari kaos kaki, warna sepatu, hingga seragamnya tidak ada yang sesuai dengan peraturan sekolah. Maka, seperti yang sudah kubilang, Bian tidak akan terlihat baik jika berada di tengah-tengah orang kacau seperti kami. Tapi sepertinya, dia tidak masalah dengan itu.
"Sok-sokan belajar, emang ada yang nyangkut di kepala lo?" sahut Andini, sambil merampas buku yang sejak tadi kubaca—tepatnya, berusaha kubaca. Benar kata Andini, tidak ada satu katapun yang menyangkut di otakku.
"Balikin!" seruku seraya berusaha merampas kembali bukuku. Andini berlari ke sudut perpustakaan, membuatku ikut mengejarnya. Andini mengangkat bukuku tingi-tinggi, membuatku kesulitan menggapainya. Jelas saja, aku 15 senti lebih pendek darinya. "ANDIN!" teriakku sambil lompat-lompat di tempat, berusaha mengambil bukuku. Ah, seandainya saja kakiku sejenjang kakinya.
"Kenapa teriak-teriak, Nak?" Ibu Penjaga Perpustakaan menghampiri kami dengan langkah tergopoh. "Ada apa?"
Ibu ini pasti mengira aku kesetanan.
"Ng—nggak ada apa-apa kok, Bu," jawabku. Kusikut Andini yang sedang setengah mati menahan tawa. Ibu Penjaga Perpustakaan menatap kami berdua bergantian, lalu menggeleng-geleng sabar dan melengos kembali ke mejanya.
Mungkin dalam benaknya ia mendumel; Persetan sama setan-setan ini.
"Ckck, bocah." Bian yang sejak tadi duduk manis di meja baca, buka suara. Ia menyandangkan ranselnya di punggung, lalu menghampiri aku dan Andini. "Dewasa dikit, dong. Malu sama umur."
"Canda, tuh, yang bocah. Pake teriak-teriak segala." Andini melirikku, melancarkan aksi bela dirinya. Aku balas melirik Andini sengit. "Apa lo, Bocah?!" bentaknya main-main, namun dengan suara yang kerasnya bukan main.
Beginilah Andini.
"Ada apa lagi?" Ibu Penjaga Perpustakaan kembali menghampiri kami. "Kalau mau teriak-teriak, mending di lapangan aja. Ini perpustakaan, Nak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati
Cerita PendekIni cerita tentang seorang pengagum rahasia. Seseorang yang hanya puas memandangi dari jauh. Seseorang yang senang meski hanya kebetulan berpapasan di koridor. Seseorang yang hanya mampu berharap suatu hari penantiannya akan usai. Namun, takdir men...