4. Changed

114K 9.1K 464
                                    

Aku menunggu dengan tidak sabar untuk El kembali melanjutkan ucapannya. Kenapa sekarang ia membutuhkan waktu yang lama untuk menjawab pertanyaanku? Apa ia lupa bahasa Indonesia?

"Gue sama anaknya temen nyokap gue," lanjutnya pada akhirnya setelah jeda beberapa menit.

"Siap-"

"Nathan," panggil seorang wanita dari belakang sebelum aku sempat menyelesaikan pertanyaanku. Tapi, sepertinya pertanyaanku sudah terjawab.

El menoleh. "Yes, Gab?"

Aku ikut menoleh dan melihat seorang wanita cantik dengan rambut panjang keriting berwarna coklat. Dilihat dari penampilannya, aku tau ia pasti bukan orang Indonesia asli. Mungkin campuran seperti El.

Wanita itu berjalan menghampiri El. "Gue nyariin lo kemana mana juga," gerutunya.

Ternyata ia bisa berbahasa Indonesia dengan lancar, walau aksennya memang sedikit aneh didengar.

"Kan lo ke toilet," ucap El sambil menepuk kursi kosong di sisi satu lagi.

Wanita itu langsung duduk dan mengambil soda yang sama sepertiku di meja. "Terus lo ngapain disini?" Tanyanya.

"Ngobrol," jawab El sambil menunjuk ke arahku dengan jari telunjuknya.

Aku mendumel dalam hati saat mendengar jawaban El. Daritadi bahkan kita baru berbicara beberapa kata, itu tidak termasuk mengobrol bagiku.

Wanita itu memiringkan kepalanya agar bisa melihatku. Lalu, ia tersenyum dan mengulurkan tangan.

"Halo, Gabriella."

Aku mengulurkan tanganku untuk membalas uluran tangannya. "Bianca."

"Nice to know you," ucapnya lagi.

Aku mengangguk sambil tersenyum. "You too."

"Lo kerja apa sekarang?" tanyaku pada El karena sedari tadi ia tidak mengucapkan apa apa lagi.

"General Manager di kantor bokap. Kalo lo?" Kali ini, El mengangkat kepalanya untuk melihatku.

"Oh, designer," jawabku singkat karena merasa sangat canggung.

"Wah, lo punya boutique dong apa gimana?" ucap Gabriella dengan semangat.

Aku mengangguk pelan. "Ada boutique sendiri."

Gabriella tersenyum senang. "Kalo gitu, gue mesti mampir ke boutique lo ya sebelum balik ke Aussie."

"Oke, nanti gue kasih tau alamatnya." Aku membalas senyumnya.

El kembali diam, tidak berbicara apapun. Aku jadi merasa seperti orang bodoh. Mungkin rencanaku untuk meminta maaf pada El akan ku undur. Tidak bisa malam ini. Keadaan akan semakin canggung kalau aku bicarakan itu malam ini.

"Gue boleh minta nomor lo? Siapa tau ada yang penting nanti," tanyaku dengan pelan.

El mengangguk dan aku menyerahkan ponselku padanya. Ia mengembalikan ponselku setelah ia mengetikkan nomor telefonnya. Aku menyimpan kembali ponselku ke dalam tas.

Ku rasa, sebaiknya aku pergi. Aku perlu sedikit udara segar untuk menenangkan pikiran dan hatiku.

"Kalo gitu, gue pergi dulu ya," ucapku sebelum berjalan dengan cepat meninggalkan El dan Gabriella.

Aku berusaha melewati kerumunan orang orang yang terlihat semakin ramai. Ku kira, aku dan Josh sudah telat. Ternyata banyak yang lebih telat lagi dari kita. Bahkan, satu restaurant sebesar ini saja terlihat sangat sempit karena banyaknya orang. Tidak heran sedari tadi aku tertabrak sana sini. Aku berusaha sebisa mungkin untuk keluar dari restaurant ini dengan tanpa goresan sedikitpun.

The ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang