Punggung yang Menjauh

32 2 0
                                    

Sasha membereskan meja kerjanya. Semua pekerjaan dibereskan sesegera mungkin karena dia ada janji sama Dhira untuk makan malam di luar.

"Hmmmm.. aku duluan ya Obed, aku ada janji sama Dhira nih. Mau candle light dinner! Hihihihi" Shasa cengengesan sambil berdiri di samping meja kerja Obed. "Tssaahh, gaya lu perak Shaa,macam berass! Mau makan di warteg aja pake bilang candle candle segala! Noh candle jepit lu noh! Udah butek masi lu pake aja!", Shasa menyaut cepat, "itu sendal keleeeuusss... ih basi deh plesetan kamu. Macam bocah.. haha! Biar dah butek, aku naik bus, males paake heels. Aku duluan yah Obed.. daaaahhh!"

Obed menyahut cepat, "Eh, Sha tunggu!"

Shasa tetap lari terburu-buru keluar dari kantor. Dan Obed pun hanya bisa menatal punggung Shasa. Punggung yang berlari semakin menjauh.

Sha, gw anter aja ya..
Obed pun kembali duduk dimeja kerjanya. Mematikan laptopnya dan bersiap-siap untuk pulang.

Gw, Obed. Entah sejak kapan tertarik sama dia. Shasa. Janda anak satu. Yang jelas, sampai sekarang gw belum mampu untuk terus terang akan perasaan ini. Ada ketakutan dia bakal menjauh kalo gw jujur. Punggungnya yang perlahan menjauh, hanya bisa kupandangi dari sini. Dsri meja kerja. Kadang, kalo Shasa sudah pulang duluan, menatap kursi kosong dan meja kerjanya saja bisa buat senyum-senyum sendiri. Sha, sampai kapan gw cm bisa melihat punggung yang menjauh?

Kopi dan GorenganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang