A Fault

323 14 3
                                    

Tik.
"Satu,"
Tik.
"Dua,"
Tik.
Ia tersenyum kecil, bergumam pelan.
"Bodoh."
Thomas mengalihkan pandangannya dari jam tangannya yang sudah ia pandangi sekitar 2 jam. Ia menunggu sesuatu. Mungkin. Ia bahkan tidak tau apa yang sedang ia tunggu.
Pagi ini terasa seperti pagi pagi yang biasa. Cukup cerah dengan udara yang sudah tercemar polusi. Thomas beranjak dari tempatnya berdiri, mulai melangkah, menyeret kakinya dengan berat.
"Satu langkah.., dua langkah.., tiga langkah..." Ia menghentikan langkahnya, menghela nafas. Thomas memutar bola matanya, melihat sekelilingnya. Jalan yang penuh dengan kendaraan, pohon-pohon di trotoar jalan, orang-orang yang melangkah cepat mengejar waktu, semua hal tampak sama. Seperti biasa. Tak ada yang berbeda. Memuakkan.

Hari ini, Thomas mendapat undangan dari Tuan Sangster untuk datang ke rumahnya. Undangan minum teh. Tidak. Thomas tahu acara apa itu sebenarnya. Memang akan ada teh disana, tetapi, undangan Minum Teh hanyalah sebuah judul. Ia juga tahu siapa saja yang akan disana : Ayahnya, ibunya, dan tuan Sangster tentunya. Thomas hanya berpura-pura tidak tahu. Mungkin ini akan lebih baik. Ia tak mau membuat kedua orang tuanya sedih. Lagi.

Thomas menghentikan langkahnya. Pintu rumah Tuan Sangter sudah berada tepat di hadapannya. Ia mengulurkan tangannya untuk memutar gagang pintu. Tapi mendadak tangannya juga terasa berat. Ia menarik kembali tangannya. Memutuskan untuk diam sejenak, menarik nafas, memastikan emosinya sudah terkontrol.

Krek.

Thomas membuka pintu. Seperti yang ia duga, ayah dan ibunya sudah duduk di sofa ruang tengah rumah tuan Sangster.
"Kau sudah sampai rupanya, ayo duduk..!" Tuan Sangter muncul dengan senyum hangatnya dari pintu ruang makan.
"Aku sudah membuatkan tehnya untukmu.."
Thomas hanya mengangguk, lalu duduk disamping ibunya.
"Kau juga dapat undangannya?" tanya Ava.
Thomas mengangguk.
"Seharusnya kita berangkat bersama tadi..." Luke tertawa kecil.
Thomas tersenyum. Sedikit dipaksakan.
"Jadi..., Thomas, bagaimana sekolahmu?" Tuan Sangster datang membawa nampan dengan teh dan kue kering diatasnya.
"Baik"
"Pasti menyenangkan ya?"
"Mungkin"
"Jadi...," Tuan Sangster duduk disamping Luke, tepat di depan Thomas.
"Thomas, apa ada masalah?" Tuan Sangster mulai membuka topik utamanya.
"Tidak"
"Kami mendapat laporan dari gurumu...," Luke membetulkan posisi kacamatanya.
"Nilaimu, dan....Tidak. Ini bukan tentang nilai..., kami tidak akan mempermasalahkan nilaimu," Luke kembali membetulkan posisi kacamatanya. Ia terlihat kurang baik.
"Sepertinya kau sedikit berubah, Thomas. Kau baik-baik saja?" Tuan Sangster melanjutkan kata-kata yang tak bisa Luke katakan.
"Aku baik baik saja." Thomas tersenyum tipis.
" Thomas....,"Ava menggenggam tangan Thomas. Matanya terlihat sembab, begitu juga mata Luke. Thomas baru menyadarinya.
"Tidak ibu, sudah kubilang aku baik baik saja."
"Tapi aku bahkan tidak pernah melihatmu tertawa lagi,"
"Apa ini ada hubungannya dengan kejadian itu?" tanya tuan Sangster. Seketika itu juga, Thomas langsung bangkit dari duduknya,
"Thomas, lupakanlah kejadian itu"
"Diamlah," Thomas memandang tajam ke arah tuan Sangster.
"Kau hanya perlu melupakannya, dia tak akan kemba...."
"Diam!" Thomas menggebrak meja dengan keras.
"Thomas!" Luke bangkit. "Jaga sikapmu!"
Thomas tak menghiraukan perkataan Luke. Ia berbalik dan pergi.

Thomas berlari. Entah kemana. Ia tak peduli.
Bayangan-bayangan dan ingatan-ingatan itu mulai menyerbu masuk ke dalam kepalanya. Thomas memejamkan matanya kuat-kuat.
"Sial! Sial! Sial!"
Ia mempercepat larinya, berharap ingatan-ingatan itu akan teralihkan dan pergi. Tetapi itu tak berhasil.
Thomas menghentikan larinya. Ia membungkukkan badannya. Terengah-engah. Saat ia menegakkan kembali badannya, ia baru sadar, ia sudah berlari sangat jauh. Ia mendapati dirinya sedang berdiri di tepi pantai dekat pelabuhan yang jaraknya lima kilo meter dari rumahnya.
Thomas terdiam sejenak, ia merasakan wajahnya memanas. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Perlahan, air mata itu jatuh. Thomas tidak menghapusnya. Ia membiarkan butiran-butiran itu jatuh. Setidaknya satu kali, ia ingin membiarkan dirinya melepas topeng yang ia kenakan.

LockedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang