If...

55 8 2
                                    

".... Andai saja mereka di temukan lebih awal, mungkin mereka bisa diselamatkan..."

Thomas terbelalak, tenggorokannya tercekat. Ingatannya kembali ke hari itu, hari libur pertama musim panas. Coliee mencoba menghubunginya beberapa kali dan mengirimkan pesan untuknya pagi itu. Pesan yang tak Thomas mengerti.

"Dia meminta pertolongan...."

Thomas terhuyung ke depan, kakinya bergetar hebat. Ia terjatuh dan menabrak pintu di depannya dan membuatnya terbuka. Luke dan Tuan Sangster yang terkejut segera berlari menghampiri Thomas.

"Thomas, kau baik-baik saja??" Luke mencoba mendudukkan Thomas. Ia begitu cemas, bukan hanya mencemaskan Thomas yang terjatuh. Ia cemas tentang alasan mengapa Thomas bisa terjatuh, tepat depan pintu.

"Apa dia mendengar percakapan tadi?" Luke benar-benar tak bisa menenangkan dirinya sendiri. Ia mendekap Thomas. Luke bisa merasakan tubuh Thomas yang gemetaran.

"Apa yang terjadi? Kau baik baik saja?" Ia mencoba bertanya sekali lagi. Berharap jawaban yang akan diberikan Thomas bukanlah jawaban yang tak ia inginkan.

Thomas mendorong Luke pelan, ia berusaha untuk berdiri. Thomas kembali terhuyung.

"Ayah...," Bibirnya bergetar. Dengan suara parau, ia mencoba melanjutkan kata-katanya.

"Ayah..., aku membunuh mereka..."

Luke dan Tuan Sangster sama sekali tidak bisa mempercayai apa yang baru mereka dengar. Luke membeku di tempatnya.
Tuan Sangster yang sudah kembali dari keterkejutannya berjalan mendekati Thomas yang masih berdiri mematung.

"Thomas..." Ia memeluk Thomas.

"Aku...membunuh mereka..." dengan suara yang nyaris tak terdengar, Thomas mengatakannya lagi.

Tuan Sangster merasakan bahunya mulai basah -Air mata Thomas membasahi kemejanya-. Ia menepuk bahu Thomas pelan.

"Menangislah Thomas..., menangislah..."

Malam ini terasa begitu panjang. Suasana terasa begitu hening dan menyesakkan. Tuan Sangster belum benar-benar mengerti tentang apa yang sedang terjadi. Semalaman, ia menemani Thomas yang tertidur di sofa ruang tengah setelah menangis cukup lama. Tuan Sangster tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Untuk saat ini, ia hanya bisa menenangkan Thomas yang terlihat begitu terpukul dan meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.

***

Thomas terbangun dari tidurnya, kepalanya terasa begitu sakit. Ia mencoba turun dari sofa dan terkejut saat mendapati Tuan Sangster yang tertidur di lantai di samping sofa.
Thomas melangkahkan kakinya perlahan menuju pintu depan. Ia memutar gagang pintu dan menariknya. Udara dingin berhembus menerpa wajahnya. Hari masih sangat gelap untuk pergi ke luar. Thomas melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Pukul 03.00

Dengan hanya menggunakan kaos tipis dan celana pendek, Ia berjalan keluar menuju danau. Udara dingin kembali menerpanya. Thomas tak menghiraukannya. Sesampainya di dekat danau, ia mengedarkan pandangannya. Kabut masih menyelimuti sekitar danau,tak banyak yang bisa ia lihat, hari masih begitu gelap dan tak ada siapapun di sini kecuali dirinya. Ia memutuskan untuk duduk di bawah pohon besar di samping danau.
Thomas menyandarkan punggungnya, mencoba menutup matanya. Ingatan itu datang. Ingatan tentang hati itu, ingatan tentang saat terakhir ia melihat senyum Coliee, Ingatan tentang hal terakhir yang ia minta padanya.

"Thomas, tunggu aku..."

Suara Coliee kembali terngiang.
Thomas merasakan wajahnya memanas, tangannya menggenggam erat rerumputan yang masih basah oleh embun.

"Aku membunuh mereka...."

Tik.

Butiran bening mengalir dan jatuh dari mata Thomas.

"Aku membunuh.... Coliee..."

Tik.




LockedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang